SELURUH umat muslim menyambut bahagia datangnya bulan Syawal, setelah sebelumnya selama 30 hari menahan berbagai godaan untuk tidak makan, minum, serta segala sesuatu yang dapat membatalkannya untuk menjalankan ibadah puasa bulan Ramadhan. Tepat pada 1 Syawal, semuanya merayakan kemenangannya dengan Lebaran atau Idul Fitri.
Setelah puasa, dalam adat Jawa dikenal istilah kupatan yang dikenalkan oleh Sunan Kalijogo, seorang wali penyebar ajaran Islam dari tanah Jawa. Lantas apa filosofinya?
Sejarah Kupatan
Kupatan sebenarnya sudah ada sejak zaman Hindu-Budha di Jawa. Pada 1500-an, di mana Islam mulai menyebar di tanah Jawa, ketupat diperkenalkan dengan filosofi bermakna. Sosok yang memperkenalkan filosofi ketupat adalah Raden Mas Said atau yang dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Pada masanya, Sunan Kalijaga memperkenalkan ketupat sebagai makanan dengan filosofi khas lebaran.
Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ketupat menjadi simbol perayaan hari raya Idul Fitri pada masa Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah. Lebaran Ketupat sendiri dilaksanakan setiap 8 Syawal di mana sebelumnya umat Islam telah menjalankan ibadah puasa Syawal pada tanggal 2-7 Syawal.
Perayaan tradisi lebaran ketupat ini dilambangkan sebagai simbol kebersamaan dengan memasak ketupat dan mengantarkannya kepada sanak saudara dan kerabat.
Berbagai macam ketupat disajikan dalam menyambut makna tradisi lebaran ketupat oleh masyarakat Jawa ini. Ada Ketupat Glabed yang berasal dari Tegal, Ketupat Babanci dari Betawi serta Ketupat Bawang khas Madura
Seperti diketahui, puasa 6 hari pada bulan syawal ini merupakan ibadah sunah yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW karena keutamaannya yang sangat besar.
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)
Filosofis Ketupat
Kupat memiliki arti ngaku lepat, yaitu mengakui kesalahan. Semua manusia pasti punya kesalahan dan sebaik-baiknya orang adalah mereka yang mau mengakui kesalahannya.
Sementara itu dari seluruh komponennya Kupat memiliki berbagai arti yang penuh makna.
Pertama, bahannya dibuat dari daun kelapa yakni Janur. Janur menurut filosofis Jawa merupakan kepanjangan dari Sejatine Nur yang melambangkan seluruh manusia berada dalam kondisi yang bersih dan suci setelah menlaksanakan ibadah puasa. Ada juga menurut tradisi Jawa, Janur memiliki kekuatan magis sebagai tolak bala. Karena itu banyak juga yang menggantungkan kupat di depan pintu rumah mereka sebagai tawasul agar jauh dari bala.
Kedua, anyaman kupat yang rumit memiliki arti bahwa kehidupan manusia itu juga penuh dengan lika-liku dan romantika, sehingga tak luput dan pasti terjadi kesalahan di dalamnya. Kupat yang berbentuk segi empat juga menggambarkan empat jenis nafsu dunia yaitu al-amarah, yakni nafsu emosional, al-lawwamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar, supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah dan mutmainah, nafsu untuk memaksa diri. Dan orang yang memakan ketupat dimaknai pula telah mampu mengendalikan keempat nafsu tersebut setelah menjalankan ibadah puasa.
Ketiga, isi ketupat yang berbahan beras dimaknai sebagai bentuk harapan agar kehidupan terus dipenuhi dengan kemakmuran. Begitupun saat kita membelah ketupat, warna putih dalam ketupat ini mencerminkan permohonan maaf atas segala kesalahan kita dengan harapan kembali suci seputih isi kupat.
Keempat, cara memakan ketupat dengan kuah sayur dan lain sebagainya dengan bahan utama kelapa yang menghasilkan Santen (jawa_red). Santen berarti juga pangapunten, yaitu memohon maaf atas kesalahan. “Mangan kupat nganggo santen. Menawi lepat, nyuwun pangapunten” (makan ketupat pakai santan, bila ada kesalahan mohon dimaafkan”).
Itulah beberapa filosofis kupatan, sebuah tradisi diajarkan Sunan Kalijaga dan terus terjaga hingga kini. Tradisi mesti tetap harus dilestarikan sebijak mungkin agar tidak disalahgunakan menuju kesyikiran sebagai bagian dari sejarah panjang budaya dan syiar Islam Indonesia yang berciri khas akulturasi budaya. Semoga kita semua mampu terus menjaga dan meneruskan tradisi ini agar kelak dari generasi ke generasi tetap dapat merasakannya.[*]