LELUHUR Sultan Agung, Raja Mataram adalah Ki Ageng Selo yang sangat terkenal mampu menangkap petir. Oleh keturunannya, kilat api petir itu disimpan di makamnya di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah yang setiap tahun diambil untuk upacara di Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Ki Ageng Selo juga seorang ulama yang pernah menjadi guru Joko Tingkir.
Bertram Johannes Otto “Bep” Schrieke seorang Indolog, profesor etnologi dan sejarah Hindia Belanda di Batavia dan kemudian menjadi profesor etnologi di Universitas Amsterdam memaknai petir sebagai api dari Khayangan. Api kekuasaan yang bersinar.
Sementara itu, Willem Frederik Stutterheim, arkeolog, ahli sejarah, dan pejabat pemerintahan pada paruh pertama abad ke-20 di Hindia Belanda menginterpretasikan Ki Ageng Selo sebagai seorang raja keturunan Dewa Indra pembawa petir dari Wangsa Syailendra.
Wangsa Syailendra memimpin Kerajaan Mataram Kuno yang beribu kota di Medang. Di sebelah timur Selo ada desa Medang, tetapi oleh masyarakat lokal dianggap sebagai lokasi Kerajaan Medang Kamulan yang dipimpin oleh Prabu Aji Saka.
BJO Schrieke mengaitkan peristiwa Ki Ageng Selo menangkap petir dengan bukit berapi yang berlumpur yang ada di Grobogan. Bukit berapi yang berlumpur itu disebut Schrieke sebagai tempat keramat.
Hal itu menandakan ada sebuah dinasti yang pernah berkuasa di wilayah Grobogan. Legenda Aji Saka dan Joko Tarub memang hidup di Grobogan.
Aji Saka, pangeran dari India yang datang ke Jawa pada tahun 78 Masehi itu menjadi Raja di Medang Kamulan, kerajaan yang dipercaya berada di wilayah Grobogan.
Begitupun legenda Jaka Tarub juga berada di Grobogan. Joko Tarub adalah sahabat Raja Majapahit Brawijaya V yang tinggal di Desa Tarub dan menikahi bidadari.
Suatu ketika, saat salah satu istri Brawijaya V melahirkan, anak itu diramalkan akan menjadi orang besar yang bisa mengalahkan nama besar Brawijaya V. Maka, anak itu kemudian di buanglah ke Grobogan dan diserahkan kepada Joko Tarub.
Sang anak yang bernama Bondan Kejawan, setelah dewasa dinikahkan dengan putri Joko Tarub, Nawangsih. Darinya, lahirlah anak yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Getas Pandawa.
Ki Ageng Getas Pandawa memiliki anak yang dikenal sebagai Ki Ageng Selo, sang penangkap petir itu. Enam adik Ki Ageng Selo semuanya perempuan.
Ki Ageng Selo kemudian memiliki anak laki-laki yang dikenal sebagai Ki Ageng Ngenis dengan enam kakak yang semuanya perempuan.
Ki Ageng Ngenis memiliki anak yang dikenal sebagai Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan inilah yang membuka hutan Mataram dan diramal oleh Sunan Giri akan melahirkan raja yang menguasai Tanah Jawa.
Anak Ki Ageng Pemanahan bernama Danang Sutowijaya, diangkat sebagai anak oleh Joko Tingkir ketika Joko Tingkir sudah menjadi Adipati Pajang.
Danang Sutowijaya inilah yang kemudian menjadi raja pertama Mataram dengan nama Panembahan Senopati. Salah satu anaknya menjadi Raja Mataram kedua bernama Prabu Anyokrowati.
Satu anak Anyokrowati menjadi raja Mataram ketiga yang dikenal sebagai Sultan Agung. Sehingga cucu Panembahan Senopati adalah keturunan dari Ki Ageng Selo.
Mengapa Stutterheim mengaitkan Ki Ageng Selo dengan Syailendra? Menurut Stutterheim, Syailendra berasal dari kata Syaila dan Indra.
Syaila merupakan bentuk kuno dari Sela (Selo), sedangkan Indra adalah Dewa Pembawa Halilintar. Maka, Desa Selo di Grobogan memiliki tempat tersendiri bagi Mataram. Api petir yang selalu diambil dari Selo untuk upacara di Mataram (Surakarta dan Yogyakarta) itu dianggap sebagai api dari Khayangan.
“Jadi, Schrieke berpendapat, api di Selo itu sesungguhnya mencerminkan asas kekuasaan yang bersinar,” kata Dr HJ de Graaf.
Tiga orang Selo, Ki Ageng Getas Pandawa, Ki Ageng Panjawi, Ki Juru Martani kemudian mengabdi pada Pajang. Anak Pemanahan, menjadi anak angkat Sultan Pajang.
Anak Pemanahan itu kemudian diangkat menjadi Adipati Mataram. Pada akhirnya menjadi raja Mataram setelah Sultan Pajang Hadiwijoyo meninggal dunia.
Dengan kakek Sultan Agung, berarti ada empat orang Selo, Grobogan yang memiliki peran penting membesarkan Pajang. Tapi ketika kakek Sultan Agung menjadi raja Mataram, semua berubah.
Ki Juru Martani diangkat menjadi Patih Mataram, tapi anak Ki Panjawi yang menjadi Adipati Pati memberontak kepada Mataram.[berbagai sumber/red]