Oleh: Moch Eksan*)
MENJELANG tidur, saya mendapatkan pesan via WA dari seorang senior. Namanya Dr HM Machfudz MPdI. Dosen di Universitas Islam Negeri KH Achmad Shiddiq (UIN KHAS). Ia rupanya meneruskan pesan perihal review Anies Rasyid Baswedan tentang Film Dokumenter yang berjudul The Edge of Democracy.
Cak Mahfudz meminta saya menganalisa ulang berita sejumlah media nasional yang mengabarkan isi cuitan Anies di akun Twitter pribadinya. Bahwa demokrasi tak bisa hanya taken for granted, tapi harus terus dijaga. Bila tidak, perlahan pelemahan demokrasi terjadi tak terasa, dan tiba-tiba semuanya sudah terlambat.
Anies menukil buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Bagaimana pelemahan demokrasi terjadi. Ini ditandai dengan tiga hal:
Pertama, tahapan penguasaan wasit. Penguasa lembaga-lembaga negara yang netral diganti dengan yang pro status qou.
Kedua, tahapan menyingkirkan pemain lawan. Para lawan politik disingkirkan dengan cara kriminalisasi, suap dan skandal.
Ketiga, tahapan terakhir mengganti aturan main. Perubahan peraturan perundang-undangan bertujuan untuk melegalkan penambahan dan pelanggengan kekuasaan.
Kendati kritik Anies tak langsung menohok perjalanan demokrasi pada Pemilu 2024 ini, tapi sesungguhnya review film yang mengambil kisah perjalanan politik Presiden Brasil Lula de Silva, sama dengan membongkar pelemahan demokrasi di Indonesia.
Anies merasakan sebagai tokoh sentral dari pusaran suksesi kepemimpinan nasional, dari dinamika politik jelang Pilpres 2024.
Rumor penyelenggara pemilu yang ditargetkan untuk memenangkan pasangan Ganjar Pranowo-Erick Thohir, pengguliran wacana presiden tiga periode, usulan penundaan pemilu, serta upaya penggantian sistem pemilu dari proporsional terbuka pada proporsional tertutup, adalah bukti pelemahan demokrasi yang dimaksud oleh Levitsky dan Ziblatt di atas.
Jujur, berbagai tanda di atas mencemaskan masa depan demokrasi Indonesia. Salah-salah, demokrasi hari ini jatuh di tangan yang salah. Tangan para penyamun yang hanya mementingkan kelanggengan kekuasaannya.
Mereka adalah orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan hasil pemilu demokratis yang menyamun kelangsungan kehidupan demokrasi itu sendiri. Padahal, demokrasi pasca Orde Baru merupakan aset bangsa yang harus dijaga dan dipelihara agar tumbuh bersama dengan bertambahnya usia kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebelum semua terlambat, para pihak harus menyadari bahwa demokrasi yang mekar di bumi Nusantara harus dirawat bersama. Pengalaman sejarah di berbagai negara, justru para pemimpin yang lahir dari rahim demokrasilah yang menjegal demokrasi itu sendiri.
Pengalaman Italia, Jerman, Venezuela punya pemimpin Bineto Mussolini, Adolf Hitler, Hugo Savez, yang terkenal di dunia sebagai pemimpin otoriter dan fasis, lahir dari rahim pemilu yang demokratis. Mereka para demagog yang lihai dan cerdik beretorika dengan kata provokatif dan menyentuh emosi massa, sehingga banjir simpati dan dukungan warga pemilih.
Namun, di balik retorika politik yang menggelegar tersebut, menyimpan paham kekuasaan otoritarianisme yang menghalalkan segala cara. Termasuk penggunaan kekerasan dalam mengelola kekuasaan rakyat.
Para pemimpin fasis tersebut, pernah terlibat kudeta terhadap pemerintahan yang sah, dengan dalih penyelamatan atas multi krisis, baik kepemimpinan, ekonomi, sosial, maupun ketertiban dan keamanan.
Namun, berkat kemampuan propaganda yang bagus, rakyat akhirnya percaya. Narasinya dianggap solusi atas berbagai problematika bangsa. Mereka pun terpilih menjadi Perdana Menteri atau presiden. Saat di tampuk kekuasaan nomor satu di negaranya masing-masing, ternyata rakyat salah pilih.
Italia dan Jerman menjadi negara agresor pada negara lain, yang menyulut perang dunia ke-1 dan ke-2. Sementara, Venezuela sering terlibat “perang urat saraf” dan banyak diboikot negara lain, serta terkucil dari pergaulan dunia.
Dalam konteks cuitan Anies, kita dapat mengambil pelajaran berharga dari pelantikan Presiden Silva Brasil Minggu, 1 Januari 2023. Pemimpin yang berasal dari Partai Buruh ini berasal dari keluarga miskin dan petani. Ia acap kali jadi korban konspirasi elite penguasa. Walau ia juga penguasa.
Presiden Silva seorang politisi yang berasal dari bawah dan menang pilpres pertama setelah 4 kali pemilu. Ia pertama berhasil mengendalikan Brasil pada 1 Januari 2003 -1 Januari 2011.
Namun, penggantinya mengkriminalisasi politisi senior kelahiran 27 Oktober 1945. Ia sempat jadi pesakitan di meja hijau atas tuduhan korupsi. Namun, pengadilan memutuskan tak bersalah. Sehingga pada Pemilu berikutnya, 2 Oktober 2022, Ia kembali maju menjadi calon presiden.
Presiden Silva adalah tokoh inspirator dalam film dokumenter yang berhasil menjadi presiden ketiga kali dengan suara 60,34 juta atau 50,90 persen. Ia mengalahkan presiden incumbent, Jair Bolsonaro dengan perolehan suara 58,3 juta atau 49,10 persen.
Rupanya, perjalanan politik Presiden Silva ini juga mengilhami Anies dalam kegigihannya berjuang merebut kekuasaan. Terutama dalam menghadapi polarisasi politik pada Pilpres. Indonesia dan Brasil memiliki jalan yang sama, jalan demokrasi. Save demokrasi Indonesia!
*) Penulis adalah Pendiri Eksan Institute