Oleh : Ahmad Sholikin*)
PAGI ini saya terlibat pembicaraan serius dengan Bapak saya, ketika saya bertanya “Pripun Pak sampun jawah dereng Sekar, Bojonegoro ?”. Saya tidak menyangka, dari pertanyaan sederhana tersebut mendapatkan jawaban yang tidak sederhana. Bapak saya bercerita bahwa, di Desa Miyono baru hujan sekitar dua kali yang bener-bener hujan lebat. Hujan pertama terjadi, dan seluruh petani berbondong-bondong untuk menanami ladang mereka dengan jagung (dengan harga benih jagung per kilonya kurang lebih 100.000). tidak hanya ladang saja yang ditanami jagung, tetapi para petani di Desa Miyono banyak juga yang menanam jagung di lahan hutan milik perhutani (dalam istilah di desa saya namanya “mbaon”). Bapak melanjutkan cerita, bahwa ia sudah menanam benih jagung sekitar 5 kg. Tetapi Bapak berhenti menanam benih tersebut, karena hujan tak kunjung juga datang. Apalah daya para petani di desa Miyono, Kec. Sekar, Bojonegoro yang mengandalkan lahannya pada air tadah hujan. Ini berbeda dengan para petani di daerah Bojonegoro bagian utara dan timur. Karakter Bojonegoro bagian Selatan, hampir sama dengan bojonegoro bagian Barat yang lahan pertaniannya mengandalkan air tadah hujan.
Tak selesai disitu, Bapak saya juga bercerita bahwa sapi miliknya sudah kehabisan pakan untuk diberikan setiap harinya. Sehingga perlu untuk membeli jerami kering untuk pakan ternak sapi milik Bapak. Permasalahan menjadi pelik bagi para petani di Miyono, yang mengandalkan kehidupannya dari bertani dan ternak ala kadarnya. Musim-musim seperti ini adalah, musim paceklik bagi warga di Miyono, mereka terakhir kali memanen sesuatu untuk di jual dari sawahnya adalah panen Tembakau dan Jagung, itupun sudah terjadi pada bulan-bulan Agustus, September dan Oktober. Ketika mereka mau memulai lagi bertanam pada periode selanjutnya mereka butuh modal yang besar, karena uang hasil panen sudah habis untuk kebutuhan mereka. Para petani di Miyono, selain bertani mereka juga memelihara ternak, baik berupa sapi atau kambing serta ayam (ada juga sebagian yang memelihara bebek, mentok dan kelinci). Tetapi ternak yang mereka pelihara lebih pada untuk “jaga-jaga” pada kebutuhan tak terduga. Dan itupun tidak semua warga Miyono memiliki ternak dan sawah.
Cerita Bapak saya masih berlanjut, ia mengatakan bahwa adik saya yang sedang sekolah di SMP butuh uang untuk membayar Wisuda sekolahnya, jumlahnya 500.000 dan itu harus segera di cicil. Adik saya adalah salah satu penerima program dari pemerintah untuk anak sekolah, tetapi pada kenyataannya masih perlu untuk membayar sedikit administrasi untuk kelulusannya. Bapak saya yang mengandalkan hidupnya dari bertani dan beternak ala kadarnya sudah pasti kuwalahan untuk mencicil uang administrasi tersebut. Apalagi itu terjadi pada bulan-bulan paceklik ini.
Narasi cerita diatas, hampir pasti terjadi pada kehidupan para petani di daerah Bojonegoro bagian Selatan dan Barat yang menggantungkan kehidupannya dari bertani dan beternak ala kadarnya. Bulan paceklik adalah bulan yang tidak bisa terelakkan dari kehidupan setiap petani di daerah bojonegoro bagian Selatan dan Barat tersebut. Kemiskinan di Kabupaten Bojonegoro berada di 13 desa dan terletak pada 8 kecamatan yang kehidupannya berada dibawah garis kemiskinan. Kemiskinan ini dapat dilihat dari jumlah Dana Desa yang diterima dengan nominal yang cukup besar yakni Rp1 Miliar lebih. Diantaranya Desa Sekar, Kecamatan Sekar, Desa Sumberjo dan Meduri, Kecamatan Margomulyo. Lalu, Desa Napis, Kecamatan Tambakrejo, Desa Kliteh, Kecamatan Malo, Desa Bareng, Kecamatan Ngasem. Kemudian Desa Krondonan, Pragelan, Sambongrejo, Senganten, Kecamatan Gondang, Desa Pajeng, Kecamatan Kedungadem, Desa Pejok, Kecamatan Kepohbaru, rata-rata mendapat Rp1 Miliar. Sementara Desa Nganti, Kecamatan Ngraho mendapat Rp1,285 Miliar.
Dari 13 desa yang berada dibawah garis kemiskinan tersebut akan tampak bahwa sebagian besar berada di Kabupaten Bojonegoro bagian Selatan dan Barat. Hal ini bisa terjadi, karena salah satu penyebabnya adalah narasi kecil yang coba saya narasikan diatas. Dimana sebagian besar mereka mengandalkan kehidupannya dari bertani dan beternak ala kadarnya. Namun bertani juga tidak kalah mirisnya, ketika hujan yang ada saat ini sudah sangat tidak mendukung para petani. Ketika mereka memulai bertanam sudah harus dihadapkan pada permasalahan mahalnya benih. Tidak selesai disitu tampaknya hujan juga membuat para petani ini meradang, sebab saat semua benih sudah ditanam tetapi pada waktu bersemai tidak ada hujan sehingga banyak yang mati kekeringan. Itu pasti akan sangat membebani petani, dengan membeli benih lagi dan ditanam lagi dan keluar tenaga lagi dan lain-lain lagi.
Tidak selesai disitu mereka masih harus berebut untuk mendapatkan pupuk. Pupuk yang dijual pun tidak main-main harganya, sudah pasti sangat mahal dan langka barangnya. Dengan mahal dan langkanya pupuk, siapa lagi yang pasti dirugikan ? Yang pasti adalah para petani. Selain biaya pupuk, petani masih perlu biaya-biaya lain seperti perawatan dan lain-lain. Namun peristiwa selanjutnya adalah yang paling ironis, ketika musim panen tiba. Harga hasil panen dengan sangat fluktuatif menuju pada harga terendah dan termurah. Tapi apa daya petani mereka tetap harus menjual hasil panennya kepada tengkulak-tengkulak tersebut demi menyambung hidup mereka dan keluarganya.
Dengan narasi diatas lengkap sudah betapa ironisnya menjadi anak seorang petani di Kabupaten Bojonegoro bagian Selatan dan Barat. Ketika mereka menanam dihadapkan pada mahalnya benih dan tidak menentunya cuaca, ketika saat masa perawatan mereka dihadapkan pada kelangkaan dan mahalnya pupuk, dan disaat panen mereka dihadapkan pada tengkulak yang memberi harga seenaknya sendiri. Sudah pasti kemiskinanlah yang akan dihadapi oleh para keluarga petani-petani tersebut. Saat mereka memiliki ternak, juga dihadapkan pada permasalahan pakan yang susah didapat. Dan saat-saat tersebut anak-anak mereka membutuhkan biaya untuk pendidikan yang harus segera mereka tuntaskan.
Berbagai persoalan diatas adalah sebagian dari realitas yang terjadi di Bojonegoro bagian Selatan dan Barat. Nampaknya imajinasi kita hanya akan mampu berharap pada kebijakan-kebijakan dari Para Lurah, Para Camat, Para Bupati, Para anggota DPR di Bojonegoro untuk bisa menyelesaikan persoalan pelik tersebut. Negara harus hadir untuk memotong rantai setan tersebut. Apalagi dengan adanya tambahan pendapatan dalam APBD Bojonegoro dari eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Bojonegoro. Nampaknya tidak mustahil untuk berharap pada implementasi secara bsar-besaran dari kampanye Ibu Bupati terkait Kartu Petani Mandiri (KPM). Selain itu juga perlu reorientasi ulang Kelompok Tani yang ada di Bojonegoro, khususnya Kecamatan Sekar (karena Kelompok Tani yang ada berevolusi menjadi Kelompok Koperasi Simpan Pinjam). Dan itu sudah jauh melenceng dari tujuan awal dibentuknya Kelompok Tani tersebut.
Dan yang paling penting adalah, bagaimana dengan semakin berkurangnya Minyak dan Gas Bumi yang ada di Bojonegoro tiap penghasilan yang diterima harus di investasikan untuk membangun SDM di Bojonegoro. Karena Minyak dan Gas Bumi sudah pasti akan habis, dan ketika habis Bojonegoro harus siap untuk menyiapkan SDM-SDM unggul bisa keluar dari kutukan sumber daya alam. Namun apa daya untuk bisa meningkatkan kualitas SDM, ketika kebijakan yang terlihat saat ini adalah Program pembangunan infrastruktur yang secara massive. Infrastruktur sangat penting, tetapi perlu diimbangkan dengan program-program prioritas untuk membangun kualitas SDM Bojonegoro yang unggul, dan tidak terdampak oleh lingkaran setan seperti narasi diatas. Karena hanya dengan SDM yang unggul slogan Bu Anna Muawanah dan Pak Budi Irawanto “Produktif dan Energik” hanya bisa tersemai pada Kabupaten Bojonegoro. Para tunas-tunas muda anak dari para petani di desa katong-kantong kemiskinan sedang menunggu untuk di “openi dan ayomi” oleh Kabupaten yang berjuluk “kota migas” ini.
*) Penulis adalah Anak Petani Bojonegoro Bagian Selatan
Editor: DeBe Redaktur
Assalamualaikum wr. wb
Salam hormat saya kepada ibu bupati dan para pejabat elit pemda kab.Bojonegoro. Menyimak narasi yg singkat dan jelas sangat miris, saya mohon untuk segera merealisasikan apa yang menjadi janji di awal untuk membantu para petani2 kecil dikota tercinta ini. Berawal dari EMPATHY yg kecil untuk menjadi yg lebih besar itu harapan kami.