Kabar Pasti
  • Home
  • Peristiwa
  • Politik & Kebijakan
  • Hukum & Pemerintahan
  • Pendidikan & Kesehatan
  • Desa & Budaya
  • Kolom
    • Olahraga & Hiburan
    • Ekonomi & Wisata
    • Lensa Pasti
    • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Peristiwa
  • Politik & Kebijakan
  • Hukum & Pemerintahan
  • Pendidikan & Kesehatan
  • Desa & Budaya
  • Kolom
    • Olahraga & Hiburan
    • Ekonomi & Wisata
    • Lensa Pasti
    • Video
No Result
View All Result
Kabar Pasti
No Result
View All Result
Home Kolom

Santri, Pandemi, Teknologi dan Kemerdekaan

Sunday, 16 August 2020 - 12: 00
Santri, Pandemi, Teknologi dan Kemerdekaan

Murtadho. Foto: Penulis

Oleh: Murtadho*)

Seorang pemuda bertanya pada Kyai Paripurna yang begitu besar pengaruh dan legitimasinya di hadapan ulama. Dengan cara inilah, pemuda tersebut ingin menegaskan kembali makna mempertahankan Republik Indonesia yang baru berusia beberapa minggu kala itu, khusus dari perspektif agama. Melalui jawaban mantap Sang Kyai, pemuda yang bernama Soekarno semakin mantap dan kukuh dalam mempertahankan kemerdekaan sebuah negara yang baru lahir.

Setelah menjawab pertanyaan Soekarno, Kyai besar KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan Fatwa Jihad, 17 September 1945. Fatwa ini antara lain berbunyi, pertama hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardlu’ainbagi tiap-tiap orang Islam; kedua hukumnya orang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta kompotannya adalah mati syahid; ketiga hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini adalah wajib dibunuh.

Baca Juga

Perkara Roman dan Ancaman Runtuhnya Integritas Pemilu

Pendidikan dalam Peradaban Robotik dan Artificial Intelegence

Berpijak pada fatwa ini, kemudian ulama se-Jawa dan Madura mengukuhkan Resolusi Jihad dalam rapat yang digelar pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di kantor Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU) di Bubutan, Surabaya. Dalam tempo singkat, Fatwa Resolusi Jihad Fisabilillah ini disebarkan melalui masjid, mushala, dan gethuk tular (dari mulut ke mulut). Atas pertimbangan politik, Resolusi Jihad tidak di siarkan melalui radio dan surat kabar.

Pengaruh Resolusi Jihad yang disahkan tepat hari ini pada 73 tahun yang lalu, nyatanya sangat luas. Selain Hizbullah dan Sabilillah, anggota kelaskaran lainpun berbondong-bondong ke Surabaya. Melalui corong radionya, pidato Bung Tomo semakin “menggila” dalam menggelorakan semangat rakyatnya, setelah terbitnya Resolusi Jihad. Atas saran KH. Hasyim Asy’ari sewaktu Bung Tomo sowan ke Pesantren Tebuireng, pekik takbir harus senantiasa mengiringi pidato Bung Tomo.

“…Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstermis. Kita yang memberontak dengan penuh semangat revousi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi. Tuhan akan melindungi kita. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!…”
(sumber : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/hari-santri-nasional-peran-para-santri-dalam-mempertahankan-kemerdekaan-indonesia )

Sekarang setelah 75 tahun kita merdeka, bagaimana nasib para “santri” Mbah Hadratus Syech KH. HAsyim Asy’ari dalam menjawab tantangan yang tidak kalah heroiknya dalam mempertahankan dahsyatnya serangan budaya millennial yang merasuk disetiap mental anak bangsa.

Kalau ada pertayaan kalau tidak menjadi santri putra-putri kita mau jadi apa ?
Pernyataaan ini sudah saya “kampanyekan”.

Ya selalu menjadi santri, kapanpun dimanapun dalam kondisi apapun, santri tetep eksis walau zaman berubah sedemikian sistemiknya, santri selalu menjadikan dirinya kuat dan mampu menghadapi gejolak budaya yang ditimbulkan oleh pengaruh masifnya teknologi yang barang tentu bisa memberikan warna lain bagi santri dalam menghadapi globalisas.

Bicara santri tentu tidak bisa dipisahkan dengan pesantren dan semua pengasuhnya. Yang menerapkan system pengajaran ilmu secara musalsal (baca: bersambung) dari pendahulunya. Sehingga datangnya pandemic Covid-19 yang mengguncangkan peradaban dunia, santri dan pesantren mampu bertahan dengan terus melakukan rutinitas sebagai santri dan faktanya tidak terbantahkan oleh siapapun.

Tengoklah siswa lainnya yang saat pandemi ini, aktivitas mereka diserahkan digantungkan pada orang yang bukan ahlinya, walaupun orang tua berpendidikanpun belum tentu bisa mendidik putranya sendiri, apalagi dampak Covid-19 ini menyasar pada semua bidang dan status sosialnya. Warung, café, bahkan jalanan setiap pagi banyak saya jumpai anak-anak yang seharusnya pada jam sekolah mereka harus melakukan aktif belajar mengajar, kenyataannya masa libur belajar tatap muka dianggapnya keberuntungan untuk tidak sekolah.

Orang tuapun menjadi resah melihat fakta ini, mereka gundah bagaimana masa depan putra-putrinya kelak, sedangkan pemerintah melalui Kemendibud belum memperbolehkan belajar tatap muka, karena memang kondisiniya belum memungkinkan, bisa dipastikan tanggung jawab belajar 90 (sembilan puluh) persen menjadi tugas orang tua.

Menghadapi situasi saat ini,  Kemendikbud harus merancang kurikulum darurat pendidikan, untuk memudahkan peran guru dan siswa melewati pandemi ini dengan tetap melakukan proses belajar jarak jauh.

Mas Menteri Nadiem menjelaskan tentang apa yang disebutnya sebagai ‘kurikulum darurat’ yang akan diberlakukan bagi PAUD, SD, SMP, SMA, dan SMK yang tetap menggelar pembelajaran jarak jauh (PJJ).
“Intinya itu, PJJ memutus mata-rantai pertemuan antar muka, antar personal dengan anak. Kita tidak bisa menegur anak kalau melakukan hal yang salah. Ini kan salah satu bentuk pendidikan karakter,” papar guru mata pelajaran Bahasa Inggris. (sumber : https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53691985).

Berbeda halnya dengan Kemenag dalam menyikapi situasi pandemi ini, walau awalnya agak risau, pernah santri sempat dipulangkan, namun demikian saat dimulainya aktivitas santri harus kembali ke pesantren dengan himbauan tetap menerapkan protocol kesehatan yang ketat dan disiplin untuk dipatuhi, Pak Mentri pun mengakui bahwa pesantren sangat aman bagi santri.

“Karena yang penting lokasi aman Covid, ustadz dan guru aman Covid, santri aman Covid dan lakukan penerapan protokol kesehatan. Ini jadi lebih mudah, karena begitu santri dan guru masuk, tidak ke mana-kemana lagi. Masuk sehat, protokol kesehatan dan tidak keluar-keluar lagi,” jelas Fachrul Razi.

Saat ini, kata Fachrul Razi, hanya sekitar tiga pesantren yang masuk klaster penularan Covid-19. Menurutnya ini bukti bahwa sebagian besar pesantren aman dari Covid-19 pada awal pandemi.
(sumber : https://republika.co.id/berita/qep28r328/keresahan-menag-ketika-madrasah-dan-pesantren-kembali-dibuka)

Dan benar Alhamdulillah para santri barupun setelah mematuhi protocol kesehatan yang ketat saat ini bisa melakukan aktivitas sebagai santri di pondok pesantren dengan baik-baik saja. Dan orang tuapun menjadi bersyukur, karena putra putri mereka dapat mendapatkan pelajaran agama secara tatap muka dikombinasi dan pelajaran umum sesuai aturan pemerintah dapat dilaksanakan tanpa was was.

Berikutnya diakui atau tidak oleh pemerintah berdaulatnya system pembelajaran pondok pesantren mendidik santrinya menggunakan kurikulum pesantren secara bersanad mampu menjawab problem dunia pendidikan khususnya menghadapi situasi saat ini.

Walaupun demikian persoalan klasik muncul, yang sering dialami oleh santri baru dan orang tuanya. Karena situasi pandemic ini membuat intensitas sambang (baca: menjenguk) putra putrinya menjadi terhalang. Karena pengasuh pondok pesantren tidak mau kecolongan gegara nila setitik rusaklah susu sebelanga, untuk sementara pengasuh melarang wali santri membesuk putra putrinya sampai masa pandemic ini berlalu.

Pengasuh pondok pesantren mafhum akan situasi seperti ini, maka pengasuh membolehkan dan memfasilitas komunikasi melalui teknologi menjadi solusi pengobat rindu mereka. Terkait kebutuhan sehari hari santri dan administrasi selama di pondok pesantren cukup melalui transfer yang sudah disediakan pengasuh.

Akhirnya hikmah pandemi ini kita semua elemen bangsa semestinya sadar bahwa kehadiran lembaga pondok pesantren ternyata bisa menjawab tantangan kondisi zaman, untuk kebaikan masa depan santri. (Sekian)

Dirgahayu 75 tahun Negeriku, Tetap Merdeka…!!!

*) Penulis adalah Wali Santri Pondok Pesantren Besar di Bojonegoro dan Sarang Rembang.

SendShareTweet

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

© 2022 Kabarpasti.com

No Result
View All Result
  • Home
  • Peristiwa
  • Politik & Kebijakan
  • Hukum & Pemerintahan
  • Pendidikan & Kesehatan
  • Desa & Budaya
  • Olahraga & Hiburan
  • Ekonomi & Wisata
  • Kolom

© 2022 Kabarpasti.com

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist