Oleh : M.Yazid Mar’i*)
Santri adalah sebutan bagi seseorang yang menimba ilmu di pondok pesantren yaitu lembaga pendidikan tertua dan sebagai cikal bakal pendidikan di Indonesia.
Di pondok pesantren, sistem pendidikan dengan model asrama memungkinkan kyai (guru, ustadz) mencetak seseorang yang tidak hanya menerima konsep ilmu, juga mampu membentuk prilaku luhur (andhap ashor, andharbeni, roja’, welas asih, nrima ING pandhum, juga khubbul Wathan) yang nantinya dapat dijadikan bekal hidup ketika berada di tengah-tengah masyarakat kelak pasca nyantri (menempuh pendidikan) di pondok pesantren.
Maka kebiasaan “ngawula” ikut dirumah kyai dengan segala konsekwensi dengan harapan besar “ngalap barakah” mendapat Ridha kyai adalah kenikmatan sendiri bagi seorang santri. Disinilah ia dapat memperaktekkan segala ilmu yang diperolehnya sebelum terjun langsung ke masyarakat.
Sikap dan prilaku santri inilah yang kemudian dapat mencetak sejarah di bangsa ini sebagai motor penggerak perjuangan melawan penindasan penjajah kolonial, dengan titik kulminasi “resolusi jihad” tanggal 22 Oktober 1945, dengan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Maka penetapan hari santri sebagai hari nasional di bangsa ini, di negeri Indonesia ini adalah sebuah keharusan sejarah yang memang harus dilakukan pemerintah, guna sedikit memberikan apresiasi dan sekaligus bentuk penajaman pengakuan negara tentang peran kebangsaan santri.
Namun kedepan yang lebih penting bagaimana negara mampu melakukan “reposisi santri”, memperbarui posisi santri dengan memberikan peran-peran sentral bagi pembangunan bangsa berkelanjutan, seperti yang pernah dicontohkan presiden sebelumnya KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur).
Penetapan hari santri sebagai simbolisme, tentu tidak akan mampu secara maksimal bagi negara, tanpa melibatkan santri pada peran-peran riil kenegaraan. Dan tentu yang tidak kalah penting juga bagaimana negara mampu menempatkan “kyai” sebagai pencetak santri dalam segala bentuk kebijakan negara dan pemerintahan, serta sejauh mungkin menjadikan kriminalisasi kyai. Jika tidak ingin kualat.
Ada cukup menarik di lingkungan pesantren “santri buki” yaitu santri yang mondok sekedar “ngalap barokah” menimba ilmu sekedarnya. Karena yakin dengan “ngalap barokah” mendapat ridha kyai, segalanya akan menjadi mudah dan bermanfaat, termasuk ilmu yang diterimanya. Stop kriminalisasi kyai untuk ngalap barokah.
*) Penulis adalah Korpres KAHMI Bojonegaro 2015 – 2020
Bangkitlah santri
Majulah Negri
Terimakasih…mantapp…