BOJONEGORO – Beberapa waktu terakhir ini angka perceraian dan dispensasi nikah (diska) di Kabupaten
Bojonegoro, Jawa Timur terus saja melambung. Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) menyebut bahwa tingginya angka tersebut karena faktor kebodohan dan kemiskinan di Kabupaten kaya minyak ini
“Kemiskinan dan kebodohan di Bojonegoro menjadi pemicu permasalahan perempuan dan anak yang terus saja meningkat. Perceraian tinggi dan Diska juga tinggi,” ungkap Koordinator APPA Bojonegoro, Nafidatul Hima.
Catatan APPA, dari tahun ke tahun
diungkapkan bahwa data perceraian di Kabupaten Bojonegoro terus saja meningkat. Dari 2019 hingga tahun ini jumlahnya terus saja tinggi. Mulai dari 2.877 perkara pada 2019, sebanyak 2.895 perkara yang masuk ke PA pada 2020 hingga pada 2021 sekitar 1.625 perkara.
“Sementara hingga Oktober 2022 ada 2.690 perkara dengan rincian cerai gugat 1.909 dan cerai talak 781, data ini kemungkinan masih bertambah hingga akhir tahun. Namun, kami berharap tidak ada peningkatan,” ungkap Hima pada audiensi bersama Pengadilan Agama Bojonegoro kemarin.
Begitupun dispensasi perkawinan di tahun 2022 juga tinggi. Sejak Januari hingga Oktober ada sebanyak 486 pengajuan dengan kasus tertinggi di Bulan Juni dengan 73 pengajuan. Diketahui pengajuan dispensasi dilakukan oleh mereka dengan pendidikan terakhir SD sebanyak 97 pengajuan, SMP ada 268 dan SMA 122 pengajuan.
Dari kondisi itulah, APPA mengajak Pengadilan Agama (PA) Bojonegoro untuk melakukan koordinasi dan audiensi sebagai ruang belajar dan menimba ilmu untuk mengetahui berbagai penyebab permasalahan yang
mendasari tingginya angka tersebut.
Terpisah, Panitera PA Bojonegoro, Sholikin Jamik, membenarkan data yang disampaikan APPA Bojonegoro, sehingga audiensi dilakukan untuk mengurai akar masalah sekaligus solusi yang perlu dilakukan untuk mengatasi tingginya angka diska dan perceraian.
“Akar masalahnya adalah pendidikan rendah dan kemiskinan. IPM Bojonegoro ini rendah. Bahkan ini berlaku di setiap negara, jika pendidikan di suatu wilayah rendah, perceraiannya juga tinggi,” terang Solikhin Jamik, Sabtu (25/11/2022)
Menurutnya, banyak anak perempuan tidak melanjutkan sekolah yang kemudian menikah. Lulus SD beberapa tahun kemudian menikah, tetapi belum cukup usia, begitu pula lulusan SMP, ini paling tinggi diskanya, tidak lanjut ke SMA memilih menikah.
Sholikin juga memberikan apresiasi kepada APPA yang telah melakukan audiensi dengan pihak PA Bojonegoro. Solikhin Jamik mengatakan jika APPA dinilai konsisten memberikan edukasi publik utamanya perlindungan perempuan dan anak pasca perceraian.
PA dan APPA, lanjut Sholikin, sepakat berkolaborasi dan bersinergi untuk melakukan pencegahan pernikahan dini dan perceraian dengan cara mengupas tuntas akar persoalannya, yaitu kebodohan dan kemiskinan di masyarakat.
“Caranya mendorong atau memohon prioritas kepada pemerintah daerah agar mengalokasikan dana dalam rangka memberi beasiswa kepada warga yang tidak bisa melanjutkan ke SMP atau SMU. Atau dana untuk wajib belajar 12 tahun. Sehingga Bojonegoro ini bebas dari penduduk yang tidak lulus SMA,” pungkasnya.(*/red)