Oleh : M. Nurkhozim*)
Tahun depan Bojonegoro kembali menggelar pemilihan kepala desa (pilkades) serentak. Ajang memilih pemimpin desa.
Meskipun di tingkat desa, namun persainganya jangan dipandang sebelah mata. Bisa-bisa lebih menegangkan dibanding pilpres lalu.
Antar tetangga bisa bersitegang karena beda pilihan. Bahkan, dalam satu keluarga juga bisa pecah karena itu. Semoga itu tidak terjadi. Kedewasaan berdemokrasi warga semakin lama sudah semakin baik.
Apapun itu harus dilalui. Itulah proses demokrasi. Beda pilihan itu biasa. Tujuan tetap sama. Membangun desa menjadi lebih baik.
Kedewasaan berdemokrasi warga desa sedang diuji. Kalah harus legawa. Menang jangan jumawa.
Jangan saling bermusuhan. Usai pilkades lekas redakan ketegangan. Ajak membangun desa bersama. Guyub rukun.
Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di desa. Terutama bidang ekonomi. Banyak masyarakat desa yang hidupnya belum makmur. Ekonomi di desa masih sulit. Akibatnya banyak yang pilih merantau ke daerah lain. Bahkan, sampai negeri seberang.
Di kampung saya, di wilayah Lamongan bagian selatan perkembangan ekonomi warganya nyaris tidak berubah. Yang miskin tetap miskin. Yang kaya tetap kaya. Bukan bertambah kaya. Tidak berubah sama sekali.
Sejak 2014 lalu pemerintah pusat menggelontorkan dana desa. Dana yang khusus untuk membangun desa. Baik fisik maupun non fisik.
Dana desa memang membawa perubahan. Terutama insfratruktur seperti jalan, jembatan, gapura, dan sarana publik lain. Tapi apakah itu bisa meningkatkan ekonomi warga?
Jawabnya bisa. Apakah warga sudah makmur? Belum.
Kalau kita meneliti lebih jauh,peruntukan dana desa adalah untuk dua hal. Pertama untuk pembangunan insfratruktur. Kedua untuk pemberdayaan masyarkat.
Menurut saya, pembangunaninfrastrktur desa sudah cukup berhasil. Banyak jalan desa sudah mulus. Jalan menuju sawah juga mulus. Jembatan desa bagus. Jalan yang dulunya becek saat musim hujan sudah hampir tidak ditemui lagi di desa.
Itu mudah. Lagi pula siapa tidak suka membangun. Yang penting sesuai spesifikasi yang ditentukan. Hasilnya ada. Itu sudah bisa dikatakan sukses dibidang pembangunan.
Namun, untuk pemberdayaan?
Ini lebih rumit. Hasilnya tidak terlihat tapi bisa dirasakan. Banyak desa lemah dibidang ini. Bukan mereka tidak melaksanakan pemberdayaan. Namun, pemberdayaan yang mereka lakukan banyak yang gagal.
Pemberdayaan hanya sebatas syarat. Yang penting dilaksanakan. Yang penting dilaporkan pelaksanaannya. Itu saja. Soal kelanjutannya, masa bodoh.
Akibatnya, banyak warga yang kembali ke rutinitas pekerjaan awal. Hidup susah lagi.
Mereka hanya diajari membuat barang. Tidak dilatih cara memasarkannya. Tidak dibina bagaimana cara mengelola sebuah usaha. Permodalannya dan sebagainya.
Kekeringan juga menjadi masalah serius di desa. Sudah beberapabulan terakhir krisis air bersihmelanda di desa-desa. Masalah ini sudah berlangsung puluhan tahun. Tidak ada solusi. Pemdes-nya tidak bisa berbuat banyak. ‘’Nanti saat musim hujan juga normal lagi’’.
Desa bukan tidak ada sumber air. Namun, sumber air itu belum dimanfaatkan dengan baik. Belum ada kemauan untuk mengantarkan air itu masuk ke rumah warga. Warga masih harus mengambil air dengan jarak yang cukup jauh.
Itu beberapa masalah yang dihadapi warga desa. Berbagai permasalahan itu kerap membuat warga desa tidak lagi berdaya di daerahnya. Mereka pilih pergi ke daerah lain. Ke kalimantan atau Malaysia. Mengadu nasib. Bertahun-tahun. Ada yang sukses. Yang tidak sukses juga banyak. Saat pulang balik jadi petani.
Kepala desa harus bisa menyelesaikan masalah-masalah itu. Harus memiliki inovasi. Terutama inovasi dibidang ekonomi. Ekonomi desa harus digerakan. Harus digairahkan.
Harus menjadi catatan penting : suatu daerah atau desa dikatakan maju jika ekonominya maju.
Indikator sebuah kemajuan adalah ekonomi. Jika perekonomian maju, rakyat akan sejahtera. Perekonomian maju pembangunan akan semakin merata.
Ekonomi desa yang baik akan membuat warganya tenang. Tidak perlu mengadu nasib keluar daerah atau keluar negeri. Mereka akan hidup tenang di desa. Mereka akan membangun desa.
Mereka akan keluar daerah hanya untuk belajar. Kuliah di Universitas ternama. Meraih prestasi. Bukan mengadu nasib mencari rezeki.
*)Penulis adalah Jurnalis Media Cetak juga Sekretaris PWI Bojonegoro