Oleh: Kusuma Wijaya*)
PUNCAK pesta demokrasi Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024 nanti, berarti kurang lebih 9 bulan lagi dilaksanakan. Tetapi dinamika politik sudah terasa dan semakin seru dengan pengumuman Ganjar Pranowo sebagai capres dari Partai PDI-P pada hari Jum’at, 21 April 2023 yang bertepatan dengan momen hari Idul Fitri bagi umat Islam. Presiden Jokowi menilai Ganjar Pranowo sebagai sosok pemimpin yang merakyat dan selalu turun ke bawah serta sangat ideologis. Pemimpin yang baru harus terus melanjutkan visi bangsa dan program unggulan yang berlandaskan ideologi Pancasila, serta menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.
Mencermati situasi dan kondisi terkini, berbagai ragam manuver dan strategi telah disiapkan oleh partai pengusung maupun partai koalisi capres. Kemungkinan di penghujung tahun 2023 dan awal tahun 2024 giat partai politik akan semakin terasa sibuk. Pada tahapan pemilu legislatif tahun 2024, para calon legislatif harus intens membangun komunikasi politik dengan lintas kekuatan guna mematangkan strategi dalam mengusung capres dan cawapres yang resmi meramaikan gelanggang arena demokrasi 5 tahunan tersebut.
Tahapan parpol dalam memenangkan kontestan yang mereka usung, para elite parpol harus melihat serta mencermati opini publik yang berkembang dari hari ke hari. Mengutip dari buku klasik Ferdinand Tönnies, seorang sosiolog yang juga pakar komunikasi berkebangsaan Jerman, Kritik der öffentlichen Meinung (1922), Tönnies membagi tiga tahap proses pembentukan opini publik.
Tahap pertama, die luftartigen position. Pada tahap ini, opini masih sangat acak, tak menentu, dan publik mulai ramai memperbincangkannya. Di fase ini, semua yang berkeinginan menjadi capres ataupun cawapres umumnya memunculkan diri dalam beragam cara. Ada yang tebar pesona lewat medsos, baliho, videotron, bingkai berita media, ataupun karya nyata lewat jabatannya.
Tahap pemunculan ini pastinya dikelola oleh mereka yang mau menjadi capres/cawapres melalui basis struktur partai, tim sukarelawan, konsultan, lembaga survei, ataupun jurnalis media massa dan warganet di media sosial.
Tahap kedua, die fleissigen position. Pada tahap ini, opini publik telah membentuk pola. Opini terkonsolidasi pada mereka yang pro ataupun kontra. Masyarakat mengonsolidasikan diri menjadi pendukung, penentang, ataupun pihak yang belum menentukan pilihan. Apabila melihat berbagai survei opini publik tentang elektabilitas capres yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei. Dalam survei pemilih kritis yang dilakukan Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) tanggal 25-28 April 2023 bentuk pertanyaan terbuka, Ganjar Pranowo dipilih oleh 46,4%, disusul Prabowo Subianto 38,8% dan Anies Baswedan 14,8%. Pada situasi head to head ini, dukungan kepada ketiga capres diperkirakan masih akan dinamis meski dengan presentase yang bervariasi dan posisi urutan selalu berbeda di sejumlah lembaga survei, karena sejauh ini masih ada tingkat pengenalan publik terhadap capres yang berkontestan bisa menjadi bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan.
Tahap ketiga disebut die festigen position, yakni tahap solidnya opini dan biasanya telah memunculkan mapan atau tetapnya opini publik di masyarakat. Kemungkinan mulai awal hingga pertengahan tahun depan opini soal kandidasi ini akan solid.
Selalu muncul kejutan seiring dengan manajemen isu dan konflik yang dilakukan tiap-tiap pihak yang berkepentingan. Jika memaksakan nama yang bukan magnet elektoral menjadi capres ataupun cawapres, tentu akan jadi masalah serius dalam memenangi kompetisi. Opini publik ini bisa menjadi sinyal untuk parpol tentang bagaimana seharusnya mereka merespons kehendak publik yang berkembang. Benar, bahwa opini sebagai respons aktif terhadap stimulus tidak akan pernah berada di ruang hampa. Selalu ada proses mengonstruksi opini oleh para pihak berkepentingan.
Mengapa tahap pembentukan opini publik saat ini lebih dini memasuki tahap die fleissigen position? Hal ini tak terlepas dari manuver NasDem yang telah mendeklarasikan nama Anies sebagai capres. Hal ini menyebabkan intensitas komunikasi politik kian meningkat. Misalnya, Koalisi NasDem, PKS, dan Partai Demokrat, serta fenomena yang sama dapat kita lihat di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
Pada era reformasi tahun 1998 hingga saat ini, proses demokrasi di Indonesia sudah berjalan dengan baik dan telah mengalami proses pendewasaan demokrasi. Menurut PKPU Nomor 7 Tahun 2022 sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sedangkan menurut UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, partai politik peserta Pemilu adalah partai politik yang telah memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota. Berarti pemilu adalah momentum demokrasi sebagai bentuk kejujuran berupa investasi ke depan, sebagai modal untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara.).
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup, maka pemilu 2024 akan berubah dibandingkan 3 pemilu sebelumnya. KPU sudah menetapkan parpol yang memenuhi persyaratan keikutsertaan dalam pemilu 2024, yaitu berjumlah 24 parpol. Hasil pemilu akan mengubah jumlah partai politik dan sistem kepartaian dalam Dewan Perwakilan Rakyat.
Indonesia sebelumnya sudah menerapkan sistem pemilu proporsional tertutup pada dua periode pemilu. Pemilu 1955 dan Pemilu 1999. Dua periode pemilu nasional ini, dalam aspek kontestasi, menjadi pemilu terbaik sepanjang sejarah pemilu Indonesia. KPU harus bisa belajar dari pengalaman di pemilu-pemilu sebelumnya karena berdasarkan potret buram masih banyak oknum KPU yang terlibat dalam kecurangan penyelenggaraan pemilu serta berupaya untuk tidak mengulangi kesalahan yang terjadi tersebut dengan menutup peluang untuk terjadinya kecurangan dalam pemilu. Masih banyak yang menaruh curiga terhadap kinerja KPU dan juga diduga masih ada “mafia politik” yang bermain di belakangnya, sehingga mencederai demokrasi yang bebas, rahasia, jujur dan adil.
Komitmen bersama antara KPU, Parpol, Pemerintah, masyarakat dan lain-lain untuk berlaku jujur dan fair dalam pelaksanaan pemilu yang profesional sehingga potret buram pemilu di seluruh Indonesia tidak terjadi lagi.
Hari ini adalah masa depan bagi masa lalu. Masa depan negara kita, suatu saat akan menjadi masa lalu. Masa depan negara kita akan suram, jika kita tidak fokus memperbaiki masa sekarang. Masa lalu, sekarang dan masa depan adalah serangkaian waktu yang memiliki jutaan pelajaran yang bisa dipetik. Sebagai penerus bangsa marilah kita sukseskan Pemilu 2024 tanpa anarkis dan tanpa mencederai nilai toleransi dengan tidak menerapkan politik identitas.
*) Penulis adalah Dosen ITS NU Pekalongan, Jawa Tengah.