BOJONEGORO – Tak seviral KKN di Desa Penari, ini nasib sebenar-benarnya Penari. Ya, seniman Waronggono, Ledek Langen Tayub yang kian tersisih dari kehidupan seni budaya yang terus saja tergerus budaya zaman. Ditambah munculnya pandemi yang kian memaksa mereka bertahan demi hidup dan kehidupan.
Mungkin nasib mereka juga sama antara Ledek Tayub di Kabupaten Bojonegoro maupun Tuban yang mayoritas terus merana, demi menyambung hidup, mereka harus mengamen keliling dari kampung ke kampung. Seperti dua penari Tayub yang terlihat sedang ngamen di Desa Bakalan, Kecamatan Kapas, Bojonegoro beberapa hari lalu.
Para pemain seni memang didominasi seniman tua. Jumlah seniman muda kini bisa dihitung dengan jari. Sama dengan pemainnya, penontonnya pun sebagian besar orang sepuh. Tidak terlihat ada upaya regenerasi, baik pemain maupun penontonnya.
Tidak hanya itu, kehidupan Penari Langen Tayub saat ini tidaklah sebaik 10, 20 atau 30 tahun lalu. Saat ini panggilan untuk manggung hanya dari beberapa kalangan saja mau mempekerjakan mereka. Seni ini sudah kalah dengan seni-seni modern yang jauh lebih murah biaya pertunjukkannya, ditambah pandemi dalam dua tahun terakhir yang semakin menambah keterpurukan bahkan pertanda kepunahan.
Agus Sigrho Budiono, salah satu seniman Bojonegoro menyampaikan bahwa UU 5/2007 tentang Pemajuan Kebudayaan mengamanahkan kepada Pemerintah Daerah untuk menggali, melestarikan kesenian dan kebudayaan daerah sebagai unsur jatidiri bangsa.
“Jika benar-benar terjadi, itu berarti Pemerintah Daerah harus bertanggung jawab terhadap pelestarian seni budaya di daerah,” kata Agus Sighro, Jum’at (17/6/2022).
Ancaman kepunahan aset seni budaya Langen Tayub khususnya, menunjukkan bahwa pemerintah setempat masih belum mempunyai sense of culture tinggi terhadap potensi daerahnya.
“Dengan kata lain penguasa bisa dikatakan masih abai terhadap jati diri budayanya,” lanjut Agus Sighro.
Menurutnya, ada beberapa faktor penyebab ancaman kepunahan sebuah bentuk kesenian, diantaranya kurangnya peminat, karena dianggap kuno dan ketinggalan jaman. Untuk itulah pemerintah pusat menerbitkan UU pemajuan kebudayaan, sehingga pemerintah daerah diharapkan mempunyai pegangan dan cantolan hukum untuk terus melestarikannya.
“Pemerintah Daerah bisa terus menghidupkan sebuah budaya, jika dipandang perlu untuk mengambil kebijakan yang sifatnya khusus,” pungkasnya. (why/red)