Oleh: Kang Yoto*)
PERTANYAAN itu penting untuk memahami kekuatan Muhammadiyah. Terutama kemampuan melakukan perbaikan epistemologi gerakannya baik di level organisasi maupun warganya. Salah satu diantara kunci dibalik daya tahan dan dinamika geraknya yang terus meluas.
Kisah soal KH Amad Dahlan yang mengulang-ulang mengajarkan Surat Al-maun kepada para santrinya hingga saat ini terus menginspirasi warga Muhammadiyah. Bahwa praktek keagamaan itu tidak cukup hanya dalam ritual. Agama harus dihadirkan dalam gerakan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Semangat inilah yang membuat Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan praksisme.
Sebuah semangat keagamaan yang hadir dalam kesadaran spasial, sosial, historis dan spiritual. Kesadaran ini menjadikan warga Muhammadiyah memiliki perhatian yang memadai terhadap issue lokal, regional dan global. Selalu mempertajam niatan dalam menghadirkan kerahmatan. Memperbaiki efektifitas kontribusi beserta dampak nyatanya bagi kehidupan publik. Satu lagi, dalam semangat praksisme ini pula Muhammadiyah terus memperlebar radius peredarannya hingga tingkat global dan membuka kemungkinan kerja sama dengan berbagai pihak.
Model keagamaan seperti ini, boleh disebut epistemologi keagamaan, sebagai sebuah cara beragama yang menganggap kebenarannya bukan hanya pada teks dan ritual, tapi juga ketepatan praktek nyatanya dan kemanfaatan publiknya dirasakan umat manusia.
Ibarat komputer Muhammadiyah itu hardware, software, operator, programer atau developer sekaligus. Semangat berkemajuan itu hanya bisa terwujud dengan terus mengubah algoritma baru dalam sistemnya. Untuk ini diperlukan kemampuan membaca dinamika dunia luar, sekaligus kemampuan untuk membaca ke dalam dan meng-upgradenya (kemampuan relektif).
Merujuk Peter Sange dalam Learning Organization, disebut sebagai kemampuan memperbaharui Mental Model, satu dari lima pilar bagi keberlanjutan pertumbuhan organisasi. Pertanyaan berulang KH Ahmad Dahlan kepada santrinya, sejatinya hendak menohok algoritma keagamaan, dengan mengkonfrontir keadaan lingkungan sosial dan mempertanyakan bermacam software keagamaan yang ada di kepala masing masing santri (mental model keagamaan).
Praksisme tanpa kemampuan reflektif hanya akan menghasilkan praktisme dan rutinitas. Jadinya mirip hp atau laptop tanpa update software, anda pakai terus menerus. Casing mungkin masih bagus tapi fungsinya semakin tidak bisa dihandalkan. Lama-lama memfosil.
Salam semangat dan bahagia!
Gresik, 15 Mei 2021
*) Suyoto, akun IG: @kangyotobojonegoro