Oleh : Moh. Shofan*)
SAAT Dikdasmen Muhammadiyah dan LP Maarif NU memutuskan mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud, media heboh. Lebih heboh lagi saat PGRI ikut-ikutan mundur. Masyarakat pun kemudian banyak bertanya-tanya tentang kenapa dua lembaga ini mundur, pun mereka juga bertanya-tanya apa itu POP Kemendikbud? Program Organisasi Penggerak Kemendikbud adalah program yang diinisiasi oleh Menteri Nadiem Makarim untuk melakukan booster peningkatan kualitas pendidikan dengan cara tak biasa. Ia diharapkan menjadi obat kuat yang dapat memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia secara signifikan.
Sebagaimana diketahui, bahwa kualitas pendidikan kita masih tertinggal dibanding negara lainnya. Tahun 2018, kita berada di peringkat 74 dari 79 negara, tahun 2015 kita peringkat ke-64 dari 72 negara, tahun 2012 kita peringkat ke-64 dari 65 negara. Artinya apa? Kualitas pendidikan kita ini berjalan stagnan. Tak banyak perbaikan yang kita lakukan dalam dunia pendidikan. Angka keikutsertaan dalam pendidikan memang meningkat dari tahun ke tahun tapi angka kualitas pendidikan kita masih jauh panggang dari api. Masih harus berlari untuk mengejar dan harus membuat terobosan kalau ingin terus memperbaiki kualitas pendidikan bangsa Indonesia agar sejajar dengan bangsa lain.
Salah satu upaya tersebut adalah dengan memperbaiki komponen-komponen pendidikan yang bermasalah. Di antaranya, pertama kualitas guru. Kualitas guru kita itu memang masih jelek. Indikatornya apa? Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang nilai rata-ratanya di bawah 5. Dengan nilai guru SD di angka 4. 14, guru SMP 44.14, dan guru SMA 43.38. Padahal idealnya mereka berada di angka 8. Mungkin kita tidak bisa menyalahkan guru sepenuhnya karena menjadi guru di Indonesia adalah pekerjaan yang tidak bonafit secara sosial serta tidak profit secara finansial. Para guru kita masih banyak yang bergaji 300 ribu per bulan dan menjadi guru sering kali menjadi pilihan saat pilihan lain tidak ada.
Kedua, sistem pendidikan masa kolonial yang usang dan membelenggu. Harus diakui bahwa sistem pendidikan di Indonesia saat sekarang ini adalah sistem pendidikan warisan kolonialisme Belanda dan Jepang di masa kolonialisme yang dibuat berdasarkan revolusi industri 1.0 yang dimulai oleh dentuman penemuan alat-alat mekanikal dan mesin uap yang melagenda tersebut dan revolusi 2.0 yang ditandai oleh pabrifikasi atau produksi massal. Sedang sekarang, kita sudah berada di zaman yang melampaui revolusi 4.0. sekolah tidak bisa lagi diperlakukan layaknya pabrik dengan seragam yang sama, pelajaran yang sama dan metode yang sama karena kita bukan mesin apalagi mesin yang sama.
Ketiga, Lembaga pendidikan yang ala kadarnya. Lembaga pendidikan yang inovatif? Rasanya kita bisa memakai jari kita untuk menghitungnya dari sekian ribu lembaga pendidikan yang ada. banyak lembaga pendidikan yang tidak serius untuk mengelola pendidikan. Sistem organisasi sekolah tidak jelas, transparansi juga tidak ada, terlebih yang berkaitan dengan ciri khas keunggulan sekolah. Yang kita temukan seringkali adalah lembaga-lembaga pendidikan yang ala kadarnya. Pemerintah juga tak pernah tegas memberikan perlakukan kepada lembaga-lembaga pendidikan tukang stempel ijazah ini ; apakah ia mau dibubarkan atau sekalian di-upgrade hingga memenuhi standart minimal kualitas penyelenggara pendidikan.
Program Organisasi Penggerak jelas ingin melakukan perbaikan di tiga sektor kelemahan kita di atas yaitu di peningkatan hasil belajar siswa, peningkatan kualitas guru, dan rancangan program bidang pendidikan. Dengan begitu diharapkan ada akselerasi peningkatan kualitas pendidikan kita dalam waktu yang singkat.
Secara teoritik, POP adalah program yang sangat bagus. Semua orang mengakuinya. Bahkan oleh mereka yang mundur dari program ini. Alasan mereka mundur biasanya dikarenakan alasan-alasan praksis yang ada dalam program bukan ide dari program. Di antaranya karena program ini meloloskan organisasi-organisasi tidak jelas rekam jejaknya dan juga meloloskan CSR perusahaan. Padahal dalam proses seleksinya, Kemendikbud sudah mencoba menghindari conflict of interest dengan memberikan penilaian seleksi kepada lembaga independen yaitu Smeru Institute. Smeru Institute pun sudah mencoba melakukan independensi dengan melakukan double blindcheck yaitu pihak Smeru tidak mengetahui proposal itu milik siapa sehingga diharapkan bukan nama besar yang atau nama yang dikenal yang keluar tapi program yang bagus. Bisa saja ada kelemahan. Hanya kelemahan tersebut tidak serta merta membuat program ini menjadi buruk. Perbaikan memang harus terus dilakukan, kritik berbagai lembaga pendidikan juga harus diperhatikan. Apalagi melibatkan banyak organisasi yang selama ini telah “merasa” berbuat banyak terhadap pendidikan di Indonesia dan mengetahui peta lapangan pendidikan secara real.
Hanya memang, Kemendikbud tidak boleh menutup mata, hujan kritik harus dianggap sebagai upaya berbagai komponen bangsa untuk memperbaiki program. Seperti Gojek yang dulu awal kalinya juga jauh dari kesempurnaan bukan berarti lalu dimatikan ide tersebut tapi diperbaiki. Maka dari itu langkah Kemendikbud untuk mendengarkan masukan pakar pendidikan dari berbagai organisasi kemasyarakatan dan lembaga negara adalah tepat.
Dari hasil tersebut Mas Menteri juga menyepakati untuk beberapa point untuk kelanjutan program yaitu verifikasi yang lebih ketat mengenai kredibilitas organisasi peserta program yang di dalamnya termasuk memerhatikan rekam jejak integritas dari organisasi tersebut, koordinasi keamanan serta keselamatan pelaksanaan program selama masa pandemi Covid-19, serta menerapkan proses audit keseluruhan dari proses yang telah dilakukan. Semuanya dilandasi semangat agar visi awal POP akan terlindungi secara berkelanjutan.
*) Penulis adalah Direktur Riset MAARIF Institute Jakarta