Oleh: Yazid Mar’i*)
Proklamasi hakekatnya adalah pernyataan bangsa Indonesia atas kemerdekaan. Dalam arti lain suatu era kebebasan dari segala bentuk penjajahan, termasuk kolonial Belanda, Jepang, juga Inggris, Spanyol dan Portugis. Tentu penjajahan disini adalah penjajahan dengan segala eksesnya, termasuk ekonomi dengan VOC-nya, keterbelakangan pendidikan sebagai bentuk pembodohan yang sengaja dilakukan pemerintah kolonial, dan upaya menurunkan harkat kemanusiaan seperti kerja “rodi” oleh Belanda, dan “romusha” oleh Jepang. Selain itu juga bermakna bahwa sejak 17 Agustus 1945, Indonesia memiliki hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri, tanpa harus terpengaruh dengan campur tangan yang lain.
Inilah sesungguhnya yang dikehendaki oleh para pendiri bangsa dan telah diabadikan dalam Preambule UUD 1945 “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Hari ini, 17 Agustus 2020, dari pantauan YouTube, ditengah pandemi upacara peringatan proklamasi kemerdekaan terulang kembali, meski dilakukan jauh seperti yang selama ini dilakukan. Tampak para pejabat negara yang hadir dalam upacara hari kemerdekaan RI ke 75 ini yaitu Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Jokowi, Wapres Ma’ruf Amin dan Ibu Wapres, Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Komisi Yudisial, Ketua Mahkamah Konstitusi, Kapolri, Panglima TNI, dan Menteri Agama, dan beberapa tokoh nasional lainnya, termasuk wakil presiden masa SBY Budiono bersama istri yang ikut upacara secara virtual, dan tak ketinggalan ketua PDIP Megawati Sukarno Putri.
Tentu upacara yang hari ini terjadi tidaklah mengurangi heroisme ketika 75 tahun saat proklamasi kemerdekapan dibacakan Soekarno dan didampingi Moh. Hatta mewakili seluruh bangsa Indonesia.
Teks proklamasi itu sekaligus menggambarkan bahwa kemerdekaan terjadi bukan karena seseorang, melainkan hasil perjuangan panjang seluruh bangsa Indonesia (Kyai, santri, petani, serta semua rakyat yang jumlahnya tak terhitung, juga darah syuhada’ yang mengaliri negeri). Dan juga “atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”.
Karenanya tidak dibenarkan siapapun mereka, pribadi, kelompok, mengklaim paling berjasa atas kemerdekaan negeri termasuk juga sang proklamator, seperti halya bunyi akhir naskah proklamasi “atas nama bangsa Indonesia”. Mengapa? Karena klaim diri hanya akan melahirkan sentimen, yang sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa, serta keutuhan negeri Indonesia yang kita cintai.
Maka terpenting hari ini, seluruh yang merasa hidup di negeri ini, makan dan minum di negeri ini, menghirup udara negeri ini saling bergandeng tangan, berniat baik untuk mewujudkan kejayaan negeri, yang tentu harus menghindari sejauh mungkin “siapapun mereka” berprilaku yang dapat menurunkan martabat bangsa, harkat negeri. Dengan tidak menjualnya dengan harga yang murah, karena kemerdekaan negeri ini terlalu mahal untuk dijual, lebih-lebih sekedar nominal apalagi untuk kekayaan diri.
Tetaplah merdeka negeriku, meski pandemi belum berhenti. Tetaplah dalam keadilan. Karena hanya dengan kunci ini kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia akan segera terwujud.
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Merdeka selamanya.
Merdeka seluruhnya.
Kopisore, 17 Agustus 2020
*) Penulis adalah Koordinator Presidium KAHMI Bojonegaro 2015-2020.