Oleh : M. Firdauz*)
Saya diantara orang yang bersimpuh di alun alun semalam. Seperti malam sejak grebeg berkah dilaksanakan pertama kali oleh Bupati Suyoto. Sebagai orang yang dididik dalam tradisi budaya jawa di keluarga, saya sangat mengapresiasi acara ini. Grebeg berkah bagi saya mengandung pesan harmoni, rasa syukur dan keteguhan untuk terus menjalani hidup secara kolektif.
Maka semua prosesi, simbol yang ditampilkan, doa, ucapan, pidato dan lagu yang disuguhkan kepada rakyat adalah pesan. Zaman Suyoto lagu Ayo Bojonegoro, Mbangun Bojonegoro, Bersatu Melangkah Maju, Alun alun Bojonegoro termasuk yang dinyanyikan bersama. Pesannya kepada hadirin jelas.
Tidak ada artis terkenal, suasana agak sakral. Saat rebutan gunungan, Forpimda selalu membagi buah sampai tuntas, tak satupun buah tersisa. Sikap itu memberi pesan pemimpin harus melayani dan membagi sampai tuntas, transparan dan tidak ada yang diambil untuk dirinya. Karena mereka sudah mendapat jatah tumpeng dipanggung samping. Gunungan itu jatah rakyat.
Semalam saya tidak melihat itu, setelah melempar buah, gunungan diturunkan, pembagian didelegasikan ke anak buah, pemimpin menyanyi dan berjoget. Pesan yang disampaikan lewat sambutan Bupati dengan praktek tiba-tiba terasa berjarak. Apa yang diucapkan berbeda dengan yang dipraktekkan.
Lagu Kandas dan Tul Jaenak: Apa Pesannya!
Semalam saya tertarik dengan dua lagu yang dibawakan pemimpin Bojonegoro. Bu Anna Muawanah membawakan lagu “Tul Jaenak karya Yon Kuswoyo, dan Mas Wawan Wabup membawakan lagu Kandas.
Saya tidak mengerti pasti alasan atas pilihan lagu tersebut. Tapi menarik mencermati makna simbolik Tul Jaenak. Dalam naungan suasana batin dan landscape zaman yang sama, Yok Koeswoyo menulis lagu ”Tul Jaenak”, yang juga termuat dalam album Koes Plus Pop Jawa I.
Seperti banyak ekspresi pada era represif, lirik lagu ini dibuat dengan bahasa simbolik, dengan jurus mlipir-mlipir atau berjalan pelan dan sangat hati-hati untuk menyampaikan maksud.
Lagu Yok menuturkan tragedi bangsa yang ia abadikan dalam ”Tul Jaenak”. Intinya, lagu tersebut mencatat sebuah masa ketika ribuan warga berjatuhan jadi korban akibat peristiwa politik: ”Abang-abang gendera londo/ngetan sithik kuburan mayit.”
Inilah peringatan agar rakyat mencermati siapa sejatinya Pemimpinnya! Banyak warga tidak bisa melihat siapa sejatinya pemimpinnya. Banyak mengira ia angsa atau banyak, padahal ia kuntul. Bahkan ia juga bukan kuntul, karena semua telur ia makan, telur buaya pun dimakan hingga tinggal satu biji. Hati hati!
Gula jawa rasane legi
kripik mlinjo dipangan asu
Arep mulyo kudu marsudi
buto ijo ojo ditunggu
(Gula merah rasanya manis, emping dimakan anjing, mau sukses harus berusaha, masalah jangan ditunggu)
Reff:
Tul jaenak
jae jatul jaeji
Kuntul jare banyak
ndoge bajul kari siji
Abang-abang gendero londo
Wetan sithik kuburan mayit
Klambi abang nggo tondo moto
Wedhak pupur nggo golek dhuwit.
Siapa atau apa butho ijo? Butho itu masalah, jangan ditunggu, hadapi dan selesaikan. Hati hati karena pemimpinmu bisa membawa masalah!
Bacalah tanda tanda zaman dengan cermat, sebab jarak dengan kuburan atau kecelakaan itu dekat. Kalian perlu ingat merah itu tanda keberanian. Wedhak pupur atau kepura puran kini menjadi alat mengejar dunia atau dhuwit.
Memahami pesan itu saya menangkap Bu Anna Muawanah pemimpin yang sungguh berani dan bijak. Berani karena ia meminta rakyatnya mencermati dirinya. Bijak karena ia sadar sebagai pemimpin mungkin saja ia bukan banyak atau angsa, tapi kunthul, bahkan juga bukan kunthul tapi yang lain.
Butho ijo itu ada dimana mana dan datang setiap saat, Maka beliau mengajak ” Membangun Bersama, masyarakat makmur sejahtera. Lalu Wabup menjawab: jika kita tidak bersama dan menyelesaikan masalah dan tantangan pembangunan ini, “hati hati kita bisa kandas”!
Wallahu A’lam
Kapas, 20 Oktober 2019
*) Penulis adalah penikmat seni dan sosial