Oleh: M. Yazid Mar’i*)
HARI LAHIR Pancasila 1 Juni sesungguhnya sebuah rangkaian panjang sidang pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945 di Gedung Cuo Sangi In (sekarang Gedung Pancasila), di Jalan Taman Pejambon, Jakarta Pusat adalah sidang untuk merumuskan dasar negara Indonesia yang diikuti 12 orang tokoh bangsa. Ada tiga tokoh yang memaparkan rumusan dasar negara, yaitu Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno.
Mohammad Yamin (29 Mei 1945), memaparkan lima asas dasar negara, yaitu: 1) Peri Kebangsaan, 2) Peri Kemanusiaan, 3) Peri Ketuhanan 4) Peri Kerakyatan, dan 5) Kesejahteraan Rakyat.
Sementara Soepomo (31 Mei 1945), memaparkan lima asas dasar negara, yaitu: 1) Persatuan, 2) Kekeluargaan, 3) Mufakat dan Demokrasi 4) Musyawarah, dan 5) Keadilan Sosial.
Kemudian Soekarno (1 Juni 1945), memaparkan lima sila yang terdiri dari: 1) Kebangsaan Indonesia, 2) Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan, 3) Mufakat atau Demokrasi, 4) Kesejahteraan Sosial, dan 5) Ketuhanan Yang Maha Esa.
Meski paparan Soekarno disepakati dan diterima anggota sidang, namun masih belum didapatkan kesepakatan bulat, karenanya pada 1 Juni 1945, dibentuklah Panitia Sembilan, yaitu kelompok kecil yang diambil dari panitia kecil saat sidang pertama BPUPKI. Tugas dari Panitia Sembilan adalah bertanggung jawab dalam merumuskan dasar negara, memberikan masukan secara
lisan atau tertulis tentang rumusan dasar negara, dan menampung masukan yang berkaitan dengan perumusan dasar negara.
Panitia Sembilan ini terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, Mohammad Yamin, KH Wahid Hasjim, Abdul KH Muzakkir, Abikusno Cokrosuroyo, Haji Agus Salim dan AA Maramis.
Panitia Sembilan dalam sidangnya tanggal 22 Juni 1945 menghasilkan rumusan dasar negara atau pembukaan hukum dasar (Undang-Undang Dasar). Dokumen sidang tersebut kemudian dikenal dengan nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta, yang didalamnya terdapat rumusan Pancasila.
Rumusan Pancasila dalam naskah Piagam Jakarta, yaitu: 1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan pada sila pertama menuai kritik dari berbagai pihak karena dipandang memihak salah satu golongan. Beberapa tokoh perwakilan dari Indonesia Timur menyatakan keberatan dengan sila pertama dalam rumusan tersebut. Pasalnya, rakyat Indonesia tidak hanya berasal dari kalangan muslim saja.
Realitas inilah yang kemudian memaksa Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta meminta kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku Mohammad Hasan untuk membahas lagi tentang rancangan UUD sebelum digelar sidang pertama PPKI (18 Agustus 1945).
Perdebatan pun tak terelakkan. Hatta kemudian melakukan lobi kepada kelompok Islam yang digawangi Ki Bagus Hadikusumo karena ada utusan kelompok dari tokoh di Indonesia timur yang “mengancam” akan memisahkan diri dari Indonesia bila rumusan sila pertama dalam Piagam Jakarta tetap menggunakan frasa “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Pada lobi yang berlangsung di sore hari pada 17 Agustus 1945 sempat terjadi kekhawatiran bila usaha itu akan mengalami kegagalan. Semua tahu akan sikap keras Ki Bagus Hadikusumo yang menganggap rumusan di Piagam Jakarta sudah final dan merupakan jalan kompromi terbaik. Namun, Hatta tak putus asa. Dia kemudian memilih Kasman Singodimedjo untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo. Penunjukan kepada Kasman dianggap paling tepat karena dia juga merupakan teman dekat dari Ki Bagus Hadikusumo.
Meski awalnya Ki Bagus Hadikusumo menolak, bahkan merasa dikhianati. Namun, dia kemudian berhasil dibujuk dengan mengingatkan adanya ancaman pemisahan diri dari beberapa tokoh wilayah Indonesia timur tersebut. Akhirnya, dengan nada yang berat, kemudian Ki Bagus bisa menerimanya dengan memberikan syarat dialah yang menentukan rumusan sila pertama Pancasila setelah tujuh kalimat itu dihapus.
Ki Bagus tidak memilih kata “Ketuhanan” saja, tetapi menambahkannya dengan “Yang Maha Esa” atau menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Historis panjang itulah yang menjadi salah satu latar belakang perubahan rumusan sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Terkait perubahan rumusan sila pertama itu, Guru Besar Kajian Islam Universitas Paramadina Prof. Dr. Abdul Hadi WM mengatakan, sarjana Belanda terkemuka yang pakar tentang Indonesia, Nijwenhuijze, pernah mengatakan bahwa rumusan sila pertama Pancasila itu berasal dari golongan nasionalis Islam. Pendapat yang sama juga dikatakan pakar hukum tata negara, almarhum Dr Hazairin. Dia berpendapat bahwa rumusan sila itu memang merupakan bukti kelapangan dada tokoh-tokoh Islam seperi tertuang dalam bukunya, Demokrasi Pancasila (Jakarta 1970:58).
Pendapat serupa oleh Prof Dr Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya berjudul “Mencari Autensitas dalam Dinamika Zaman”, menuliskan bahwa rumusan itu hanya bertahan selama 57 hari hingga akhirnya anak kalimat dari kata ketuhanan dicoret dari batang tubuh Undang-undang Dasar (UUD) 1945 karena alasan politis dan agama.
Jiwa nasionalisme dan lapang dada para pendiri bangsa (founding fathers) telah mampu dan berhasil mensahkan Dasar negara oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, tepat sehari setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa meski Pancasila sebagai bagai “Ideologi Terbuka” hakekatnya adalah “Kompromi Final”, Jalan Tengah Dasar Negara dan Falsafah hidup Bangsa Indonesia yang sarat kemajemukan. Mengapa masih diperdebatkan? Bukankah pengamalan nilai-nilainya lebih penting dari sekedar teriak lantang menjaganya.
Selamat Hari Lahir Pancasila
*) Penulis adalah Sekretaris Kajian Sor Keres, pemerhati sosial budaya dan pendidikan Bojonegoro.