BOJONEGORO – Harapan masyarakat Desa Campurejo, Kec/Kab. Bojonegoro Jawa Timur, agar dapat menjalin komunikasi secara baik khususnya bersama operator pengeboran Migas yang ada di desa setempat, hingga saat ini belum mendapat titik terang.
Pasalnya, setelah hearing (baca: dengar pendapat) antara Pemdes Campurejo, PT Pertamina EP Asset-4 yang digelar di ruang Komisi C DPRD Kabupaten Bojonegoro beberapa waktu lalu, muncul tiga rekomendasi di antaranya meningkatkan komunikasi antara pihak perusahaan dengan Pemdes, kepastian pembebasan lahan jalur pipa, dan prioritas terkait Corporate Social Responsibilty (CSR) untuk ring sekitar.
Kesabaran menunggu adanya komunikasi tersebut, dibuktikan masyarakat Desa Campurejo, sejak awal peralihan operator pada 21 Mei 2018 hingga saat ini. Operator sebelumnya adalah Joint Operating Body Pertamina Petrochina East Java (JOB PPEJ), dan beralih ke PT Pertamina EP Asset-4 Sukowati Field.
Dari sejumlah hal yang akan dikomunikasikan, salah satunya terkait pembebasan atau pengadaan lahan yang rencana dijadikan lahan penyangga kegiatan pengeboran.
“Sampai saat ini, terkait dengan pengadaan lahan yang akan dijadikan lahan penyangga atau baper zone tidak ada kabar kelanjutan dan kejelasan dari perusahaan pengeboran,” ujar Solikin.
Tujuh tahun silam, atau sekira 2013 lalu, Solikin bersama 5 orang warga lainnya yang juga memiliki tanah berdampingan dengan pengeboran merasa lega, sebab sesuai informasi yang diterima baik dari pihak perusahaan maupun Pemdes setempat, segera akan dilakukan pembebasan tanah yang akan digunakan sebagai lahan penyangga.
Bahkan para pemilik tanah yang berdampingan dengan pengeboran, mengaku sangat menunggu realisasi pembebasan. Salah satu faktor yang menjadikan pemilik tanah sepakat adanya pembebasan yakni setiap kali tanam di lahan tersebut hasilnya kurang maksimal.
Masih menurut Solikin, sesuai informasi awal rencana kebutuhkan tanah yaitu seluas 5 hektar. Dan saat itu, seluruh pemilik lahan juga telah bersedia serta mempersiapkan berkas-berkas kepemilikan tanah.
“Kami juga sudah diminta untuk mengumpulkan dokumen serta berkas kepemilikan tanah, namun sampai hari ini tidak ada kejelasan,” katanya.
“Karena untuk kegiatan negara, kami bersepakat melepas tanah dan sangat mendukung,” imbuhnya.
Minimnya komunikasi, sangat berpengaruh pada hubungan antara masyarakat dengan perusahaan. Bahkan hampir tidak memiliki program yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar.
Sementara itu, Kepala Desa Campurejo, Edi Sampurno, S.Sos ketika ditemui awak media ini, membenarkan bahwa sekira tahun 2013 yang lalu, dirinya pernah menghadiri sidang penyusunan dokumen Amdal (Analisis mengenai dampak lingkungan) yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup di Surabaya bersama beberapa desa lainnya.
Saat itu, telah disepakati bahwa akan ada perluasan lahan, yang akan digunakan sebagai salah satu syarat penyusunan dokumen Amdal yang harus dilaksanakan oleh perusahaan pengeboran, yaitu lahan penyangga kegiatan. Namun, berjalannya waktu, kabar dan rencana tersebut tak terdengar lagi.
“Kalau memang sudah menjadi ketetapan dan harus diwujudkan sebagai syarat, kami khawatir tidak terlaksana dikarenakan minimnya komunikasi pihak perusahaan dengan Pemdes,” terang Edi Sampurno, Minggu (14/9/20).
Masyarakat yang selama ini mengumpulkan dokumen sangat berharap tanahnya segera dibebaskan oleh perusahaan. Hampir setiap hari mempertanyakan dan meminta kejelasan di kantor desa.
“Kalau mereka datang ke kantor meminta kejelasan, kadang-kadang kami juga menyarakan agar datang ke perusahaan secara langsung, khawatirnya pihak desa dianggap menutup-nutupi terkait hal tersebut,” tegasnya.
Melalui media kabarpasti.com, Edi Sampurno, mewakili masyarakat Desa Campurejo, berharap kepada SKK Migas atau pihak-pihak yang memiliki wewenang terkait adanya hal tersebut dapat membantu agar pembebasan lahan segera terealisasi, dan pihak perusahaan dapat menjalin komunikasi secara baik dengan desa-desa sekitar operasi. (Cipt)