Oleh: Imam Muchibul Ma’ruf*)
PERNYATAAN Bupati Bojonegoro Anna Mu’awanah terkait agenda persetujuan Laporan Keuangan tahunan 2017 dan 2018 PT Asri Dharma Sejahtera (ADS) menarik ditelaah. Bupati mengatakan, “Saya tentu tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang tidak saya lakukan. Pada tahun 2017 dan 2018 saya belum bupati di sini.” Pernyataan Bupati yang dikutip harian Radar Bojonegoro edisi 3 Juli 2020 itu seperti orkestrasi yang mengundang gelak tawa. Sebab, pernyataan itu mengandung makna bahwa dua mantan Bupati sebelumnya, yaitu HM Santoso dan Suyoto, harus bertanggung jawab.
Apakah dua mantan Bupati itu harus bertanggung jawab dan Bupati yang sedang menjabat melepaskan tanggung jawab? Kita coba telisik dasar hukumnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah. Dalam perusahaan perseroan daerah, kepala daerah mewakili pemerintah daerah yang berkedudukan sebagai pemegang saham, bukan personal, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b. Maksud dari peraturan perundang-undangan ini bukanlah tindakan hukum perseorangan, namun yang dimaksudkan adalah tindakan hukum jabatan yang di dalamnya melekat kewenangan dalam lingkup hukum publik, sebagai kepala daerah yang berkedudukan sebagai pemegang saham. Dengan demikian, dua mantan bupati sebelumnya tentu saja sudah tidak memiliki kewenangan untuk bertindak atas nama kepala daerah.
Lelucon lainnya adalah pernyataan bupati “saya tentu tidak bisa bertanggung jawab” padahal RUPS bukan meminta pertanggungjawaban bupati sebagai pemegang saham, akan tetapi sebaliknya bupati sebagai pemegang saham mendengarkan laporan tahunan perseroan, laporan keuangan perseroan dari direksi dan pengesahan laporan tugas pengawasan Dewan Komisaris Perseroan.
Logika pernyataan bupati amatlah kontradiktif dengan argumentasi agenda RUPS yang harus dilaksanakan terlebih dahulu penetapan kepengurusan PT ADS, yang berarti pertanggungjawaban direksi lama dalam masa jabatan direksi baru, sementara bupati berpendapat, “Saya tentu tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang tidak saya lakukan. Pada tahun 2017 dan 2018 saya belum bupati di sini”.
Harus tegas dikatakan bahwa pernyataan bupati yang merasa harus bertanggung jawab dalam RUPS adalah mengada-ada bahkan cenderung merupakan tindakan tanpa dasar wewenang yang merupakan tindakan sewenang-wenang, karena bupati diberi kewenangan bukan sebagai direksi dan/atau komisaris yang harus melaporkan pertanggungjawaban dalam RUPS, namun bupati berkedudukan sebagai pemegang saham.
Sangat disayangkan tindakan nyata (Feitelijke Handelingen) bupati yang mendapatkan wewenang sebagai pemegang saham, terkesan mempersulit hak-hak investor yang sudah disepakati dalam anggaran dasar dan perjanjian, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338, KUHPerdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Di tengah krisis ekonomi yang semakin akut akibat pandemi Covid-19, seharusnya pemerintah berupaya membuat kebijakan dalam rangka melancarkan aliran investasi, bahkan menghidupkan kembali iklim berusaha, bukan melahirkan kebijakan pemerintah yang menghambat apalagi menyumbat investasi, yang dapat menimbulkan ‘distrust‘ bagi investor. Jauh sebelum wabah Covid-19 merebak di awal tahun 2020, Presiden Joko Widodo sendiri menyampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Investasi agar kepala daerah tidak menghambat investasi demi penciptaan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Meskipun narasi yang dibangun bupati terkesan berkehendak melaksanakan RUPS yang telah melalui sekian tahapan, sesungguhnya, kepentingan bupati hanya melakukan pergantian kepengurusan semata. Sementara terkait dengan pengembalian investasi dan pembangian deviden masih tanda tanya, meskipun seharusnya deviden bagi Kabupaten Bojonegoro harus sudah menjadi bagian Pendapatan Asli Daerah (PAD) sejak akhir tahun 2018.
Jangankan investasi beresiko bisnis tinggi seperti industri migas dengan periode balik investasi panjang, setiap pelaku usaha pasti membutuhkan kepastian hukum atas nilai investasi yang ditanamkan. Pasca pandemi Covid-19, Bojonegoro seperti daerah lain, butuh secepatnya memulihkan perekonomian agar pengangguran dampak pandemi bisa segera berkurang.
Boleh saja bikin lelucon, tapi jangan memicu sentimen negatif terhadap perekonomian Bojonegoro.
*) Penulis adalah Koordinator SWASTA (Suara Warga Semesta) Bojonegoro.