“Jajak pendapat terkait Jalan Nglenyer oleh Kajian Sor Keres melalui google form selama seminggu pada 61 responden di 17 kecamatan dari 11 profesi, secara umum diperoleh tingkat kepuasan sebesar 60,8%, tidak puas karena belum berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat sebesar 25,01%, tidak tahu dan jawaban lain karena tidak ada sosialisasi sebesar 14,19%.”
Jalan Raya merupakan jalan utama yang menghubungkan satu kawasan dengan kawasan lainnya. Jalan memiliki ukuran yang lebih lebar, besar, dilapisi aspal, atau yang terakhir dengan kontruksi Rigid Beton seperti di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Secara historis jalan raya di Indonesia dimulai sejak zaman kolonial Belanda, seperti halnya Jalan Daendels. Jalan masa itu selain sebagai sarana transportasi, juga untuk pertahanan militer, membangkitkan roda ekonomi dalam hal-hal distribusi berbagai komoditas baik masuk maupun keluar sebuah wilayah.
Pembangunan Jalan Daendels ini juga mempersingkat waktu tempuh Surabaya – Batavia yang sebelumnya 40 hari, menjadi tujuh hari saja. Sejarah pembangunan jalan ini sangat “melegenda” di kalangan orang-orang Jawa. Sebab, proses pembangunannya melibatkan warga pribumi dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, karena bekerja tanpa imbalan, meski belakangan terbantahkan karena Pemerintah Hindia Belanda telah memberikan imbalan setimpal, hanya tidak sampai kepada pekerja, “dulu sekarang yang seperti ini tetap adanya, kapan berakhirnya”.
Beberapa ruas jalan juga dibangun dari jalur yang sudah ada seperti dari wilayah Bogor menuju Bandung yang melintas di daerah pegunungan Megamendung dan Puncak. Akhirnya pembangunan jalan ini selesai pada 1810 M atau hanya dua tahun masa pembangunan. Pada saat itu, Belanda juga membangun Proyek Rel Kereta Api di Pulau Jawa, karena dianggap lebih efisien dalam menunjang mobilitas pemerintahan ketimbang jalan raya. Berbeda dengan Jepang, pembangunan jalan raya bukan menjadi skala prioritas.
Setelah merdeka, pembangunan Jalan Raya sepenuhnya resmi berada di bawah tanggung jawab Departemen Pekerjaan Umum. Pemerintah saat itu sukses membangun banyak ruas jalan. Hari ini pun jalan tetaplah menjadi skala prioritas, dengan muncul berbagai jalan bebas hambatan “jalan tol” yang tujuannya tidak lain sebagai upaya memperlancar arus lalu lintas “mengurai kemacetan” sekaligus memperlancar aktivitas ekonomi.
Prinsipnya jalan memiliki dimensi multi fungsi, selain fungsi ekonomi juga non ekonomi, diantaranya sebagai integritas bangsa, prasarana pertukaran budaya atau pun sebagai pendukung ketahanan dan pertahanan bangsa sebagai visi pembangunan berkelanjutan.
Bagaimana dengan Bojonegoro? Dulu kita sering mendengar sebuah joke, ” jika kita naik mobil dan tertidur, maka untuk membedakan kita masuk di kota Bojonegoro adalah terbangun, karena mobil kita seperti tersangkut bongkahan batu” . Itu untuk membedakan antara Tuban dan Lamongan.
Masa akhir pemerintahan Bupati Santosa, perbaikan dan peningkatan jalan dilakukan dengan “jalan hotmix“. Pun mulai bersambung antar kecamatan hingga muncul istilah “dalane Korea“. Meski kemudian berhenti karena penolakan sejumlah anggota parlemen.
Pemerintahan berikutnya Suyoto, dengan alasan teknis kontur tanah Bojonegoro, mulailah dilakukan Pavingisasi dengan harapan muncul dan menumbuhkan partisipasi masyarakat, jika suatu hari diperlukan perbaikan dengan terbatasnya APBD. Masyarakatpun merasakan kemudahan akses hingga tingkat desa, meski kemudian hari memunculkan realita berbeda hingga diabadikan dengan lagu oleh pemerintah penerusnya dengan “Nglenyer” yang bernuansa penuh sindiran.
“Naliko semono akeh kang sambat
Gupak linet gulung koming/koyok akrobat..
Sak dalan-dalan, njor tansah gugat
Sak wayah-wayah metu, medane berat
Wes pathing bletat, wes jumpat, wis pathing njepat..
Megelke boyok iki dadine kurang sehat Jaman saiki wis nglenyer mak ser
Wis ora cenut-cenut sampek ngombe puyer…
Minyak Bojonegoro sepertinya membuat jalan pun berubah “rigid beton”. Rakyat Bojonegoro bersorak sorai, mendendangkan lagu “Nglenyer”. BKD pun digelontorkan untuk “meNglenyerkan” jalan penghubung di desa.
“Memperhatikan hasil jajak pendapat terkait jalan nglenyer oleh Kajian Sor Keres melalui google form selama satu minggu kepada 61 responden di 17 kecamatan dari 11 profesi, secara umum puas dengan tingkat kepuasan 60,8%, tidak puas karena belum berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat 25,01% tidak tahu dan dengan jawaban lain karena tidak ada sosialisasi 14,19%.”
Melihat hasil jajak pendapat ini, tentu tidak berhenti disini. Bagaimana kemudian kedepan masyarakat Bojonegoro berharap munculnya sentra-sentra ekonomi kerakyatan dengan melihat potensi masing-masing desa/ kecamatan. Contoh kecil saja, jika pertumbuhan ekonomi berdasarkan data, pertanian masih mendominasi, tentu tindak lanjut KPM (Kartu Petani Mandiri) menjadi sesuatu yang berarti adalah keniscayaan. Dan ekonomi pun tumbuh seiring terbukanya peluang kerja. Anak-anak Bojonegoro menigkat kualitasnya, karena semua warga mampu menikmati pendidikan yang berkualitas atas jaminan. Anak-anak milenialpun tumbuh kreatifitasnya menatap cerahnya masa depan hidup di Bojonegoro. Semua menjadi mungkin..!!! Tinggal menunggu waktu!! Mengapa tidak?
M. Yazid Mar’i, Sekretaris Kajian Sor Keres, Pemerhati Sosial budaya dan Pendidikan