Oleh: Yazid Mar’i *)
22 Oktober 2020, peringatan hari santri ke 5. Sebuah lebeling sekaligus pengakuan peran negara atas santri, kyai, ulama sebagai pendiri negeri, sekaligus sebagai komunitas terbesar yang tidak diragukan dalam kontribusinya mengisi kemerdekaan dan menjaga marwah negeri dari berkembangnya ideologi yang dapat mereduksi Pancasila sebagai ideologi negara dan masyarakat bangsa. Konteks inilah yang tentu harus tetap menjadi spirit seluruh santri, kyai, dan ulama’, agar hari santri tak sekedar lebeling, melainkan sebagai kekuatan agar mampu berkiprah dan mengambil peran strategis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bukan sebaliknya menjadi alasan dalam mempersekusi santri, kyai dan ulama’.
Ulama sebagai warosyatul ambiya’ wal mursalin, mengandung makna bahwa apa yang diperjuangkan santri, kyai, dan ulama’ tidak lain adalah berjuang meneruskan dan mengembangkan da’wah Rasul dalam menyempurnakan ahlaq umat “in nama buitstu liutammima makaa rimal ahlaq”.
Tentu diantara sekian jawaban tidak lain dan tidak bukan adalah menegakkan tauhid umat, seperti halnya yang telah diperaktekkan Rasulullah diawal kerasulannya.
Secara historis “Fathul Makkah” Sebagai kemenangan umat islam, yang disimbolkan dengan dilenyapkannya seluruh berhala yang mengitari ka’bah, dan sekaligus diikuti dengan amnesti besar-besaran atas kaum yang dahulu menghinanya, menyiksanya, sebagai saudara bila ia memasuki masjidil haram dan kediaman Abu Sufyan.
Hari ini, tentu makna berhala bukanlah seperti halnya yang ada pada masa itu. Berhala adalah segala hal yang membuat persaingan kuasa Tuhan, yang hari ini bertelur dan berevolusi menjadi sesuatu benda, sifat, dan lain-lain dalam bentuk kekuasaan, kekayaan, dan lain-lain yang dianngap mampu memberikan kebaikan dan kemudharatan diri, dan memiliki segala kesempurnaan tanpa cacat, diyakini secara pribadi dan komunal, seperti Tuhan dengan segala kesempurnaan, hakekatnya adalah “tandingan Tuhan” atau bisa dikata sebagai “neo berhala”.
Maka tema Santri kuat negara kuat adalah cita-cita yang harus diupayakan, bukan ditunggu, seperti hanya kemerdekaan negeri ini yang diperoleh bukan hadiah penjajah melainkan hasil perjuangan, terutama para santri, kyai, ulama.
Satu hal lagi yang harus digaris bawah “Bahwa persatuan dan kesatuan” Adalah kunci keberhasilan meraih kemerdekaan.
Akhirnya, tetap Waspada! Jangan mau di adu! Negeri ini milik kita, hasil tetesan air mata, tumpahan darah dan nyawa santri, kyai, dan ulama. Bukan geratis. Bukan hadiah… Sekali lagi bukan hadiah penjajah… Jangan lepaskan sejengkal pun untuk penjajah! Santri, kyai, ulama’ merdeka di negeri merdeka. “Nyata, bukan hanya kata!”
Kopi sore Ledok kulon, 22 Oktober 2020