Kabar Pasti
  • Home
  • Peristiwa
  • Politik & Kebijakan
  • Hukum & Pemerintahan
  • Pendidikan & Kesehatan
  • Desa & Budaya
  • Kolom
    • Olahraga & Hiburan
    • Ekonomi & Wisata
    • Lensa Pasti
    • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Peristiwa
  • Politik & Kebijakan
  • Hukum & Pemerintahan
  • Pendidikan & Kesehatan
  • Desa & Budaya
  • Kolom
    • Olahraga & Hiburan
    • Ekonomi & Wisata
    • Lensa Pasti
    • Video
No Result
View All Result
Kabar Pasti
No Result
View All Result
Home Kolom

Filosofi Kupatan Dalam Budaya Jawa

Sunday, 31 May 2020 - 06: 00
Filosofi Kupatan Dalam Budaya Jawa

Sajian Ketupat. Net.

Baca Juga

Musyda Muhammadiyah ke-10, PC IMM Bojonegoro Rekomendasikan 5 Syarat Pemimpin Ideal

Membaca Strata Prioritas dan Urgensi Beasiswa RPL Desa di Bojonegoro

Oleh : Muh. Nurhuda*)

Diseluruh Nusantara memiliki bermacam-macam cara dalam menyemarakkan Hari Raya Idul Fitri. Seperti di pulau Jawa, ada tradisi Kupatan hasil dari pemikiran para Walisongo dalam menyebarkan dakwah Islam melalui budaya.

Tradisi ini dilaksanakan 7 hari setelah Idul Fitri. Masyarakat desa berkumpul di masjid atau musholla untuk selamatan dengan  membawa hidangan yang di dominasi ketupat juga lonthong.

Ketupat merupakan makanan berbahan  beras dibungkus dengan selongsong anyaman daun kelapa yang masih muda (janur, jawa). Masyarakat desa membuat sendiri selongsong anyaman, lalu diisi dengan beras dan dimasak dalam rendaman air.

Ketupat direbus berjam-jam hingga matang. Makanan ini biasanya di sajikan bersama sayur pelengkap, seperti opor ayam, lodeh nangka muda atau srondeng bumbu kelapa.

Ketupat menjadi makanan khas lebaran turun temurun hingga kini. Namun dalam tradisi Jawa, makanan ini bukan hanya sekedar sajian hari kemenangan, tapi lebih pada makna filosofis yang terkandung dalam tradisi Jawa.

Budayawan Zastrouw Al-Ngatawi menegaskan bahwa tradisi ini merupakan bentuk sublimasi ajaran islam dalam tradisi masyarakat Nusantara. Hal ini merupakan cara Walisongo untuk mengenalkan ajaran Islam tentang wujud dan cara bersyukur kepada Allah SWT, bersedekah dan saling menjalin silaturrahim.

Oleh Walisongo, tradisi membuat ketupat itu dijadikan media meyebarkan syiar agama. Biasanya, upacara tradisi ini dilengkapi dengan menggunakan ketan, kolak, apem yang diberi wadah pisang yang dibentuk sedemikian rupa yang disebut takir. Setiap bagian dari upacara ini memiliki makna filosofis yang merupakan dasar dari ajaran agama.

Ketan sendiri merupakan perlambang yang diambil dari kata khatam (selesai) melakukan ibadah, takir dari kata dzikir dan apem dari kata afwan yang berarti ampunan dari dosa. Untuk nama ketupat yang dalam bahasa Jawa adalah kupat sendiri merupakan singkatan dari ngaku lepat (mengakui kesalahan) yang menjadi simbol untuk saling memaafkan.

Ketupat atau kupat sendiri memiliki banyak makna sebagaimana telah diketahui oleh masyarakat Jawa. Kupat di artikan sebagai “laku papat” yang menjadi simbol empat segi dari ketupat. Laku papat yaitu empat tindakan yang terdiri dari lebaran, luberan, leburan, laburan. Maksud dari empat tindakan itu adalah :

Pertama, Lebaran yaitu tindakan yang berarti telah selesai yang diambil dari kata lebar. Selesai dalam menjalani ibadah puasa dan diperbolehkan untuk menikmati makanan.

Kedua, Luberan berarti meluber, melimpah yang menyimbolkan agar melakukan sedekah dengan ikhlas bagaikan air yang berlimpah meluber dari wadahnya. Oleh karena itu tradisi membagikan sedekah di hari raya Idul Fitri menjadi kebiasaan umat Islam di Indonesia.

Ketiga, Leburan berarti lebur atau habis. Maksudnya adalah agar saling memaafkan dosa-dosa yang telah dilakukan sehingga segala kesalahan yang telah dilakukan menjadi suci bagai anak yang baru lahir.

Keempat, Laburan berarti bersih putih berasal dari kata labur atau kapur. Harapan setelah melakukan Leburan agar selalu menjaga kebersihan hati yang suci. Manusia dituntut agar selalu menjaga prilaku dan jangan mengotori hati yang telah suci.

Itulah cara yang dilakukan oleh para walisongo dalam mendakwahkan ajaran Islam yang ramah tanpa marah apalagi mengatakan bid’ah. Sehingga masyarakat Nusantara tidak merasa terusik dengan adanya Islam, mau menerima ajaran Islam yang saat ini menjadi agama mayoritas di bumi Nusantara.(islam.co/Red)

SendShareTweet

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

© 2022 Kabarpasti.com

No Result
View All Result
  • Home
  • Peristiwa
  • Politik & Kebijakan
  • Hukum & Pemerintahan
  • Pendidikan & Kesehatan
  • Desa & Budaya
  • Olahraga & Hiburan
  • Ekonomi & Wisata
  • Kolom

© 2022 Kabarpasti.com

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist