BOJONEGORO – Citayam Fashion Week begitu terasa fenomenal, kehadirannya merebak hampir di seluruh kota-kota di Indonesia. Fenomena baru ini nampak begitu diminati banyak orang belakangan ini, mulai dari anak-anak, orang dewasa, hingga para pesohor baik artis atau tokoh. Kegiatan berjalan diatas zebra cross di area Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta ini kini terus saja menyebar ke berbagai daerah.
Seperti diketahui, setidaknya sudah ada delapan kota besar yang mengikuti tren Citayam Fashion Week, dengan masih mengusung konsep yang sama, yakni berjalan diatas penyebrangan pejalan kaki atau Zebra Cross, dengan busana modis dan fashionable.
Nah, tak mau ketinggalan, disebuah desa di Kabupaten Bojonegoro, aktivitas ini rupanya juga sudah di mulai yakni di Desa Tejo, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro, Minggu (3/8/2022) lalu.
Seperti yang diunggah dalam satu akun Instagram @mediamasyarakatngasem, terlihat muda-mudi hingga ibu-ibu berjalan lenggak-lenggok tak ubahnya seorang model bahkan bergoyang-goyang disebuah jalan beton diarea persawahan desa. Aktivitas merekapun menyita perhatian dan ditonton ratusan warga dari anak-anak hingga dewasa. Warga nampak terkesima dengan penampilan fashion show ditengah sawah ini, meski mayoritas pegiatnya adalah perempuan dengan kostum hijab.
Sementara itu, Agus Shigro, Budayawan Bojonegoro saat diminta pendapatnya soal ini mengatakan jika Demam Citayam Fashion Week hingga ke pelosok merupakan bukti kedahsyatan media sosial.
“Segala yang viral pasti akan mengundang follower yang tidak terbendung. Meski saya yakin sifatnya hanya sesaat. Namun lal itu tentu memerlukan pemahaman untuk lebih bijak dalam meniru sesuatu yang viral, sebab pasti akan melahirkan dampak positif dan negatif,” terang pria ini, Rabu (3/8/2022).
Menurutnya, akan berdampak positif jika mampu melahirkan kreativitas dari warga masyarakat misalnya dengan mengeksplore kearifan lokal, jadi tidak hanya sekedar meniru. Sebaliknya, kata Agus Sighro akan berdampak negatif jika hanya sekedar menjadi gaya hidup yang semakin menjauhkan dari akar budaya bangsa.
“Misal di tempat asalnya, Citayam Fashion Week lebih menjadi panggung bagi para LGBT, hal itu jika tidak diantisipasi sejak dini tentu akan berdampak negatif bagi masyarakat,” tegas pengajar di SMKN 2 Bojonegoro.
Namun terlepas dari semua itu, dijadikannya jalanan untuk mengekspresikan kreasi menunjukkan kecilnya ruang-ruang ekspresi yang disediakan oleh negara. Mestinya agar kreativitas rakyat tidak berceceran di jalan negara perlu menyediakan creative center atau art space, sehingga hasil karya masyarakat lebih terapresiasi.(cipt/red)