Oleh: Ajun Pujang Anom *)
SEBELUM pergantian pucuk pimpinan negeri, sudah banyak yang membincangkan topik “ganti menteri, ganti kurikulum”. Seakan ini adalah hal yang lumrah dan harusnya demikian.
Mengapa hal ini tidak diubah, kemudian mulai mendiskusikan tentang bagaimana menguatkan kurikulum yang sudah ada atau paling tidak menambal celah dan cela yang berada di dalamnya? Padahal kalau mau jujur, setiap kurikulum punya nilai unggul, selain tentu saja nilai lemah. Meskipun pula tak perlu membombong secara berlebihan terhadap segala konten materi yang menjadi kandungannya.
Seperti yang kita ketahui, kurikulum ini secara etimologis berasal dari Bahasa Yunani, yaitu curir yang berarti pelari dan curere yang bermakna lintasan lari. Sehingga secara terminologis, pengertiannya adalah sebagai jarak yang ditempuh seorang pelari dari start hingga mencapai finish, dengan tujuan mendapatkan apresiasi (penghargaan).
Yang kemudian istilah ini ditarik ke ranah edukasi dan dianalogikan sebagai a race course atau a place for running a chariot. Hal ini menjadikan kurikulum seperti jarak lari yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Dan sampailah hal ini ke kita dan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yang berbunyi, “Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Dari amatan di atas, tentu menimbulkan beberapa percik pemikiran, salah satunya tentang “masa usang” berlakunya kurikulum. Berdasarkan evaluasi dan kebiasaan, suatu kurikulum mempunyai rentang usia sepuluh tahun. Jadi apabila lebih dari waktu ini, dimungkinkan pergantian kurikulum. Hal itu dikarenakan, sebuah kurikulum harus mampu mewadahi perubahan dan perkembangan zaman. Hal ini sama seperti yang terjadi di Indonesia, rerata kurikulum berumur sepuluhan tahun.
Lantas kapan mitos “ganti menteri, ganti kurikulum” mulai menyebar? Sebelum dijawab pertanyaan ini, coba kita lihat sejumlah tahun yang berkaitan dengan sejarah kurikulum. Sejak kemerdekaan, penetapan kurikulum nasional dimulai pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, hingga yang sekarang 2024 (meskipun sudah dimulai pelaksanaannya di tahun 2020). Dari fakta kesejarahan yang ada ini, tidak pernah muncul menteri yang mengurusi pendidikan selama dua periode. Umumnya hanya satu periode, dan jarang sekali yang mengalami reshuffle. Jadi jika meminjam tagline ikonik dari Asmuni Srimulat, ini adalah hil yang mustahal setiap pergantian menteri disertai pergantian kurikulum.
Mungkin mitos ini mencuat gegara kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) berumur pendek, hanya dua tahun. Yang kemudian diganti dengan kurikulum 2006 atau Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP). Dan dua kurikulum ini digagas oleh dua menteri pendidikan nasional yang berbeda. Dari sinilah, secara tak sadar muncul anggapan, bahwa setiap pergantian menteri terjadilah pergantian kurikulum.
Dan umpamanya besok, sang menteri baru–yang entah cukup dipanggil pak ataupun pakdhe–mempunyai ide untuk melakukan perubahan kurikulum, alangkah eloknya kurikulumnya diberi nama KURUSAN. Yang merupakan kependekan dari Kurikulum Nusantara. Singkatan ini bisa dianggap simbol dari kurikulum yang ringkas dan gegas dalam memahami perkembangan zaman, dan pengembangan potensi peserta didik yang sebenar-benarnya. Sehingga nanti output-nya adalah GENDUTAN (Generasi yang Penuh dengan Kejutan).
Terima makasih telah berbagi infonya Pak Ajun semoga sehat serta sukses.