JAKARTA – MAARIF Institute bekerjasama dengan Magister Studi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Jakarta, menyelenggarakan diskusi dan peluncuran Jurnal MAARIF edisi ke-35 No.1 Juni 2020 dengan tema “Agama, Sains dan Covid 19 : Mendialogkan Nalar Agama dan Sains Modern”. Kegiatan yang dilakukan hari ini, Rabu (12/8/2020) menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya : Lukman Hakim PhD (Dosen Magister Studi Islam FAI Universitas Muhammadiyah Jakarta), Musa Maliki Ph.D (Dosen Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Veteran Jakarta) dan, Munaya Fauziyah, M. Kes (Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta), dan Dr Sopa MA (Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta). Bertindak sebagai Keynote Speaker, Prof. Dr. M. Amin Abdullah (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta). Acara ini dimoderatori oleh M Hilali Basya Ph.D (Kaprodi Magister Studi Islam FAI Universitas Muhammadiyah Jakarta).
Dalam sambutannya, Dr Sopa MA (Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta) menyambut baik ajakan MAARIF Institute untuk bekerjasama dengan Magister Studi Islam, FAI Universitas Muhammadiyah Jakarta, dalam menyelenggarakan acara peluncuran Jurnal MAARIF ini. Kerjasama ini diharapkan mampu memperkuat etos keilmuan di lingkungan civitas akademika, serta membuka ruang ruang bagi dialektika pemikiran-pemikiran kritis tentang Islam dan berbagai persoalan sosial kemanusiaan.
Abd. Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Maarif Institute mengatakan bahwa di tengah situasi pandemi Covid-19, otoritas keagamaan dituntut secara serius dalam memberikan edukasi yang benar kepada masyarakat dengan pandangan-pandangan keagamaannya, walaupun tak bisa dimungkiri ada saja sebagian pihak yang malah melontarkan narasi keagamaan secara salah kaprah terkait fenomena virus Corona, misalnya dengan mengatakan bahwa takdir kematian seseorang itu sudah ditentukan oleh Allah. Pandangan seperti ini dapat membahayakan orang lain. Sebab sikap tersebut menyebabkan mereka mengabaikan aturan kesehatan sehingga berpotensi tertular dan menularkannya kepada orang lain.

Sementara Prof. Amin Abdullah memaparkan bahwa linearitas ilmu dan pendekatan monodisiplin dalam rumpun ilmu-ilmu agama akan mengakibatkan pemahaman dan penafsiran agama kehilangan kontak dengan realitas empiris. Budaya berpikir baru yang secara mandiri mampu mendialogkan sisi subjective, objective dan intersubjective dari ilmu dan agama menjadi niscaya dalam kehidupan multireligi-multikultural dan terlebih di era multikrisis yang melibatkan sains, kesehatan, sosial, budaya, agama, politik, ekonomi, keuangan sekaligus akibat penyebaran pandemi Covid-19 di dunia sekarang ini.
“Kesemuanya ini akan mengantarkan perlunya upaya yang lebih sungguh-sungguh dan ketekunan untuk melakukan rekonstruksi metodologi studi keilmuan dan metodologi studi keagamaan di tanah air sejak dari hulu, yakni filsafat ilmu dan filsafat ilmu-ilmu keislaman sampai ke hilir, yaitu proses dan implementasinya dalam praksis pendidikan dan dakwah keagamaan”, tegas Prof. Amin Abdullah.
Hal yang sama dikatakan oleh Lukman Hakim Ph.D. (Dosen Magister Studi Islam FAI Universitas Muhammadiyah Jakarta) bahwa Covid-19 merupakan fenomena alam yang menjadi ranah sains yang obyektif dan independen. Karena itu, pembuktikan adanya virus hanya dapat disandarkan pada temuan ilmiah yang bersifat empiris. Pemangku kebijakan publik harus bisa memberikan ruang terbuka bagi sains untuk diuji secara obyektif. Di sisi lain, para agamawan seharusnya lebih bersemangat dan gigih dalam memprovokasi masyarakat untuk menangkap makna esoterisme keberagamaan melalui pengetahuan yang mendalam.
Acara peluncuran Jurnal ini diikuti tidak kurang seratus peserta, baik dari kalangan akademisi, mahasiswa, aktivis, maupun masyarakat secara umum. (mi/beka/red)